Semua keadaan, bisa menjadi TORIQOH (jalan) menuju Allah!

oleh Wahidiyah

“Tidak dikuatirkan padamu bingung jalan. Tetapi yang dikuatirkan atasmu adalah menangnya hawa nafsu atas akal dan imanmu.” (Al Hikam: 117)

Bagi semua orang, tidak dikhawatirkan bingung tentang keadaan dirinya; apakah ia melakukan taat, atau terjerumus berbuat maksiat. Karena yang jelas, perbuatan-perbuatan itu, sebenarnya bisa dijadikan jalan untuk menuju mewusulkan seseorang kepada Allah, atau bisa menjadi jalan, atautoriqoh kepada Allah.

Amal itu sendiri memiliki dua nilai. Pertama; Nilainya sebagai amal. Tentu setelah terpenuhinya syarat-syaratnya amal itu sendiri. Kedua; Berfungsi sebagai toriqoh.

Suatu perbuatan dinilai amal, kalau dalam pelaksanaanya sudah memenuhi syarat-syarat, seperti niat, rukunya sudah tepat, yang membatalkan sudah ditinggalkan, dan sebagainya. Jika hal ini sudah ditepati, amal itu diterima. Sebaliknya, kalau amal itu untuk dijadikan sebagai toriqoh ilallah, ya syaratnya lain lagi, tentu sebagaimana yang berlaku di toriqoh. Nah, kalau bisa, kita melakukan amal ibadah bisa bernilai kedua-duanya; sebagai amal ibadah  dan sebagai toriqoh. Karena ada amal yang tidak memenuhi syarat-syarat amal, tapi ia bisa tusilu ilallah (menjadi toriqoh untuk wushul kepada Allah). Ada juga amal yang diterima, tetapi tidak bisa tusilu ilallah.

Ketika kita menghadapi suatu keadaan, di sini digambarkan, ada taat, ada maksiat, juga ada bala’. Taat, maksiat dan bala’ ini, kita tidak dikhawatirkan ketidakmampuan kita untuk memanfaatkanya menjadi toriqoh atau amal ibadah tusilu ilallah.

Meskipun didalam Al Qur’an sendiri dan juga hadits, telah jelas diterangkan, bahwa apabila kita mau mempelajari dan memahami benar-benar, disana ada tuntunan-tuntunan yang menuntun kita agar dapat memanfaatkan semua keadaan atau amal ibadah menjadi toriqoh yang tusilu ilallah. Pertanyaanya sekarang, bagaimana menggunakan taat, menjadi amal ibadah, menjadi toriqoh yangtusilu ilallah. Yaitu:

Yakni, kita memandang bahwa semua amal ibadah kita ini adalah anugerah dari Allah, bukan sebab daya upaya kita, dan bukan karena usaha kita. Karena itu jangan diaku ketika kita bisa taat, bahwa itu hasil ikhtiar kita, tetapi sadarilah bahwa ini adalah anugerah dari Allah. Walaupun umpamanya, kita sudah lillah, tetapi ketika kita melakukan amal ibadah belum melihat bahwa sesungguhnya bisa beramal itu sendiri merupakan anugerah Allah, berarti kita masih mahjub, terhijab, amal itu masih diaku. Nah, supaya amal itu tidak diaku, kita harus menyadari minnatun minallah (anugerah dari Allah). Dalam istilah Wahidiyah billah, bukan ikhtiar kita. Kalau taat kita sudah kita bilah-kan, hati kita senantiasa ingat kepada Allah, ya otomatis amal atau taat itu menjadi toriqoh kepada Allah.

Dibidang maksiat; bagaimana agar maksiat kita ini bisa dijadikan toriqoh kepada Allah? Yaitu, ketika kita maksiat, kita harus istighfar, merasa hina, merasa dosa dihadapan Allah SWT. Kemudian kita tobat yang sungguh-sungguh kepada Allah, maka maksiat itu akan menjadi toriqoh kepada Allah. Karena itu ada dawuh:

”Maksiat yang didalamnya menimbulkan rasa dosa, nelongso dan menangis meminta ampunan kepada Allah, berdepe-depe tobat dan kembali kepada Allah, itu lebih bagus daripada taat yang tidak ada rasa demikian itu, bahkan menumbuhkan rasa takabur. Karena itulah, maksiat bisa dijadikan toriqoh kepada Allah.

Begitu juga nikmat. Bagaimana nikmat itu agar bisa dijadikan toriqoh kepada Allah. Yaitu kita senantiasa bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah. Baik Syukur bil qalbi, syukur bil lisan, maupun syukur dengan cara menggunakan nikmat itu untuk beramal, sesuai dengan kehendak yang memberi nikmat.

Syukur bil qalbi, kita merasa, menyadari bahwa semua nikmat itu dari Allah SWT. Sadar bahwa nikmat itu adalah anugerah Allah. Juga sebagai ungkapan syukur kita, secara lisan kita berterima kasih kepada Allah dengan memanjatkan puji; Alhamdulillah. Bahkan, kalau perlu disampaikan kepada orang lain: Alhamdulillah saya baru saja mendapat nikmat dari Allah” maksud membicarakan nikmat tentu bukan niat riya’, tapi niat syukur dan menunjukkan nikmat Allah kepada orang lain. Kalau bisa demikian, maka syukur nikmat tadi, bisa menjadi toriqoh kepada Allah.

Begitupun ketika kita mendapat bala’. Ia bisa dijadikan toriqoh kepada Allah. Yaitu ketika kita menerimanya dengan hati ridha, dan sadar bahwa ini adalah qodho-qodar-nya Allah. Kita memandang, ini semua dari Allah semata. Disebabkan banyak dosa-dosa kita.

”Telah tampak berbagai kerusakan di darat dan dilautan. Bencana alam, banjir, angin topan, gunung meletus, kecelakaan, dan sebagainya. Semua ini adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, kata Allah. Hingga dunia menjadi rusak, dan semua barokahnya hilang. Mulai barokah harta-benda, barokah rumah-tangga, semuanya hilang. Semuanya kacau balau. Akibat kerusakan itu kemudian ditimpakan oleh Allah kepada manusia, agar mereka mau sadar dan kembali kepada Allah SWT.” (QS. Ar Rum: 41).

Demikian inilah beliau tuntunan K. Mushonnif kepada kita, kepada Pengamal Wahidiyah khususnya yang telah lama didik Mbah Yahi, untuk menyikapi keadaan maksiat, taat, nikmat dan bala’. Untuk dijadikan toriqoh kepada Allah.

Jadi pada intinya; bukan maksiat menjadi ibadah, tidak. Tapi, bagaimana maksiat itu bisa dijadikan toriqoh ubudiyah yang tusilu ilallah.

Bagi Pengamal Wahidiyah yang telah dididik Mbah Yahi, ketika menghadapi maksiat, taat, nikmat dan bala’. Atau ketika ia dikuasai nafsu, sangat dikhawatirkan ia tidak bisa memanfaatkan keadaan-keadaan tersebut jadi toriqoh ilallah. Yang lebih menghawatirkan lagi apabila taatnya menjadi maksiat, bala’ menjadi maksiat, karena dirinya dikuasai oleh hawa nafsu.

Padahal Mbah Yahi telah mendidik agar kita tidak perlu khawatir lagi menyikapi nikmat taat, maksiat, bala’ ini. Sebab jika kita benar-benar tidak dikuasai hawa nafsu, maka semua keadaan itu bisa untuk dijadikan  toriqoh ilallah. Insya Allah Pengamal Wahidiyah yang telah dididik Mbah Yahi sudah mampu demikian dengan idzin-Nya.

Namun walau ilmiahnya mudah, dipandang mampu, tapi kalau hatinya dikuasai nafsu, sangat dikhawatirkan taatnya menjadi maksiat, apalagi maksiatnya. Nikmatnya jadi maksiat, jadi siksa dan juga bala’nya senantiasa menjerumuskan.

Apabila kondisi seseorang dikuasai nafsu, maka orang ini jelas sudah buta mata hatinya. Ia sudah tidak bisa membedakan mana yang untuk mendekatkan diri kepada Allah, mana yang bukan. Dengan amal taatnya, ia taajjub, bangga dan merasa bahwa “aku bisa beramal”. Bisa beramalnya bukan karena anugerah dari Allah, sebaliknya, ia bangga, taajjub bit-toatihi. Dia tidak lagi memandang bahwa bisa beramal itu adalah minnatun minallah.

Wa tasiru fil maksiat…., dan ketika ia terjerumus kedalam keadaan yang demikian, ia malah terus enak-enakan tanpa menyadari bahwa dirinya dalam kondisi maksiat. Ia tidak segera keluar dari keadaan itu dan cepat-cepat tobat.

Wa tastaqilla…, dan ketika ia mendapat nikmat, ia juga menganggap bahwa nikmat yang diberikan kepadanya itu cuman sedikit. Akhirnya ia tidak mau bersyukur kepada Allah, bahkan terus-menerus ngersulo, mengeluh.

Wa jazaa fil baliyat…, ia juga hanya merasa susah, ketika keadaanya sedang dicoba. Sebaliknya ia tidak segera tobat.

Karena itulah sangat dikhawatirkan, bahwa Pengamal Wahidiyah yang sedang dikuasai nafsu, ketika menyikapi taat, maksiat, nikmat dan baliyat (bala’) akan terjerumus seperti yang disebutkan diatas tadi.

Karena itu, kita dalam kehidupan ini, mari kita koreksi. Apakah keadaan kita lebih banyak taatnya, atau lebih banyak maksiatnya.

Kita juga harus menyadari, bahwa kita ini tidak bisa lepas dari nikmat Allah. Akan tetapi, didalam nikmat itu sesungguhnya ada bala’ atau musibah. Yang dimaksud musibah disini adalah ketika nikmat itu sesungguhnya kita aku sendiri, bukan dari Allah. Dan kita menyalahgunakan nikmat itu bukan untuk toriqoh inallah. Inilah yang dimaksud musibah.

Karena itulah, kita dididik oleh Mbah Yahi, bagaimana agar kita tidak bingung, jangan sampai jumbuh istilah disini, bingung, tidak mampu menggunakan melaksanakan taat untuk toriqoh ilallah. Karena itulah, apabila kita mendapat nikmat, bisa taat, maka janganlah diaku, tapi harus billah, bahwa ini semata-mata adalah anugerah Allah SWT. Kita juga harus terus bersyukur, terus berdepe-depe dan tobat memohon ampun kepada-Nya. Begitu juga, apabila kita ‘diberi’ maksiat, jangan susah. Karena itu qadha-qodhar-Nya Allah. Tetapi susahlah pada perbuatanya, nangis, tobat kepada Allah SWT. Dan apabila mendapat nikmat ya disyukuri:

”Dan sekiranya kamu menghitung-hitung nikmat yang telah diberikan Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34).

Nikmatnya Allah itu tidak bisa dihitung. Karenanya, Allah hanya meminta kita untuk mensyukurinya. Dan apabila kita mendapat baliyat atau cobaan, kita harus sadar bahwa ini adalah peringatan dari Allah. Iya kalau cobaan itu yang ngelaraake teng nafsu (menyusahkan/ menyakitkan pada nafsu). Tapi, kalau cobaan itu jutru yang mengenakkan nafsu kita, kita terlena nanti. Di coba sakit, dicoba jatuh usaha kita, ini biasanya kita tahu. Tapi, kalau kita dicoba kaya, ampuh, kita ndak tahu… Hingga cobaan itu membuat kita bingung, tidak bisa menggunakannya untuk tusilu ilallah SWT. Hati-hati… dan harus lebih hati-hati lagi, ketika hawa nafsu itu menguasai kita, hingga kita berani mengaku bisa beramal ibadah.

Bahkan, jika hati kita sudah tertutup oleh nafsu, maka kita akan enak-enakkan didalam maksiat, sehingga nikmat yang banyak yang kita terima dari Allah SWT, tidak bisa kita rasakan. Begitu juga baliyat (bala’) yang sebenarnya sifatnya peringatan dari Allah, justru dianggapnya sebagai siksa.

Juga ada dawuh, laa yukhafu alaika… (sudah tidak dikhawatirkan lagi…). Maksud dawuh ini adalah ‘tidak dikhawatirkan bingung’ membedakan antara mana perbuatan maksiat dan mana perbuatan taat. Juga tidak dikhawatirkan bingung memilih, mana ketaatan yang harus lebih diutamakan, mana yang tidak.

Tapi bahasanya di sini, adalah ‘dikhawatirkan bingung’ memilih, antara meksiat dan perbuatan taat untuk digunakan toriqoh kepada Allah.

Sekarang bagi Pengamal Wahidiyah, sudah tidak dikhawatirkan lagi bingung memilih mana yang lebih penting dan manfaat, mana yang tidak. Karena pengamal sudah dewasa, sudah bisa taqdimul aham fal aham tsumal anfa’ fal anfa’. Tidak dikhawatirkan bingung memilih diantara amal-amal yang tusilu ilallah. Seperti shalat, syiam (puasa), zakat, dzikir dan sebagainya. Sudah tidak dikhawatirkan bingung memilih mana yang lebih utama, yang lebih aham, dan yang labih anfa’. Karena kita sudah diberi taqdimul aham fal aham tsumal anfa’ fal anfa’.

Tetapi, apabila kita dikuasai hawa nafsu, pasti kita menjadi bingung untuk memilih; mana yang lebih utama, mana yang tidak. Sehingga dalam melakukan amal perbuatan tidak istiqomah. Terkadang mengerjakan yang ini, terkadang yang itu. Terus…. Begitu. Kadang-kadang, mempeng, giat. Kadang tidak sama sekali. Ia bingung karepe dewe (bingung sendiri/ tanpa sebab). Oleh karena hatinya terombang-ambing nafsunya. Mengamalkan amalan yang ini, ia tidak merasakan ada atsar di hatinya. Semakin ia mempeng (sungguh-sungguh), justru semakin gelap hatinya dari Allah. Bahkan saking bingungnya, kembali ia ganti amalan lagi, kemudian ganti lagi, dan seterusnya. Tetapi yang ia dapat bukan rasa nikmat dalam hati, namun hanyalah rasa kesel nggak ada hasilnya… Sebab apa? Sebab ia tidak memilih mana yang lebih aula, lebi anfa’ dan lebih aman.

Orang yang demikian ini, biasanya adalah orang-orang yang tidak dalam bimbingan Asy Syaikhul Kamil Mukamil. Kerena tidak mendapat bimbingan Syaikh Kamil Mukamil, maka hatinya dikusai nafsu. Akibatnya, ia bingung memilih; mana yang aula atau aham, mana yang tidak.

Oleh karena dirinya dikuasai nafsu, maka hatinya tercegah, tertutup untuk melihat jalan yang terbaik yang mestinya ia gunakan untuk toriqoh ilallah SWT. Maka saat ia mencari amalan, hanyalah amalan yang sifatnya agar bisa mendekatkan diri kepada Allah. Itu saja. Tetapi ia sendiri tidak mampu membedakan mana amalan yang sungguh-sungguh efektif, atsar-nya banyak, dan mampu tusilu ilallah. Pokoknya, amalan yang bisa mendekat kepada Allah, ya diamalkan.

Karena ia mendapatkan amalanya hanya asal-asalan, kemudian ‘pokoknya mengamalkan’, tidak ada bimbingan guru Kamil Mukamil, hatinya dikuasai nasu pisan, hal ini membuat hatinya semakin gelap, hingga ia tidak bisa melihat mana yang aham, mana yang anfa’. Akhirnya, perjalanan ruhaninya menuju Allah, kembali dari awal, dari bawah lagi.

Namun demikian. Walaupun ia tidak mampu memilih mana yang aham dan mana yang anfa’, oleh karena ia terus mengamalkan amalan yang didapatnya itu, akhirnya Allah pun menolong, hatta yajmuka… Sehingga kamu dipertemukan dengan guru Kamil Mukamil yang memberikan bimbingan dan menunjukkan kamu untuk menuju Allah SWT. Dan akhirnya kamu di dalam bimbingan seorang guru Syaikh Kamil Mukamil itu.

Bagi kita Pengamal Wahidiyah, ini sangat penting sekali. Jangan sampai kita terpeleset. Kita menjadi pengamal sudah lama sekali. Apalagi kita sudah pengamal sejak kecil hingga besar seperti sekarang ini. Jangan sampai, kalau diajak ngomong ajaran kayak-kayak alim, kayak menguasai ilmu toriqoh, ilmu lillah dan billah. Tapi, setelah itu selesai. Cuma ngomong-omong saja, namun hatinya tidak dredeg, tidak bergetar sama sekali seperti omonganya. Sebaliknya, kalau diomongi, ganti nyembur, ganti ngomongi. Namun hatinya jauh dari apa yang dibicarakan. Hingga ketika ia menghadapi empat masalah seperti dalam bahasan diatas, ia bingung; mana yang diamalkan. Justru ia terus gonta-ganti amalan; ngamalkan ini, kemudian ganti ngamalkan itu, terus ganti lagi ngamalkan yang ini. Karena hati kita telah dikuasai nafsu.

Bahkan mungkin juga, hanya doa saja yang ia amalkan; pengen surga, pengen jauh dari neraka, pengen ini dan itu, sehingga tujuan yang utama yaitu wushul kepada Allah kalah di tengah jalan, kalah dengan kebutuhan ekonominya. Begitulah kalau hati kita telah dikuasai nafsu. Hati kita terombang-ambing, hingga kita selalu gonta-ganti amalan. Suatu saat mengamalkan ini, suatu saat tidak. Hingga jadinya tidak istiqomah.

Begitu juga, meski yang diamalkan jelas-jelas amalan Wahidiyah, namun karena ia tidak pernah datang di jama’ah, tidak pernah Usbu’iyah, tidak pernah datang di Rubu’usanah, hingga tidak ada penjelasan-penjelasan yang membawa dia untuk tusilu ilallah, sama dengan tidak dibimbing oleh Syaik Kamil Mukamil, maka ia pun tetap akan merasakan kebingungan. Akhirnya ia hanya bisa ngamuk, menuruti nafsunya sendiri. Pokoknya dia mengamalkan… Hati-hati, jangan-jangan yang dikhawatirkan olehmushannif (penyusun Kitab Al Hikam), atau Mualif Shalawat Wahidiyah ini terjadi pada pengamal Wahidiyah yang lama.. mari kita koreksi diri kita sendiri.. Allahu a’lam Al Fatihah…

 

Pengajian Al Hikam Oleh: Hadrotul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid, RA.