Category: ♠Kisah♠


Semua keadaan, bisa menjadi TORIQOH (jalan) menuju Allah!

oleh Wahidiyah

“Tidak dikuatirkan padamu bingung jalan. Tetapi yang dikuatirkan atasmu adalah menangnya hawa nafsu atas akal dan imanmu.” (Al Hikam: 117)

Bagi semua orang, tidak dikhawatirkan bingung tentang keadaan dirinya; apakah ia melakukan taat, atau terjerumus berbuat maksiat. Karena yang jelas, perbuatan-perbuatan itu, sebenarnya bisa dijadikan jalan untuk menuju mewusulkan seseorang kepada Allah, atau bisa menjadi jalan, atautoriqoh kepada Allah.

Amal itu sendiri memiliki dua nilai. Pertama; Nilainya sebagai amal. Tentu setelah terpenuhinya syarat-syaratnya amal itu sendiri. Kedua; Berfungsi sebagai toriqoh.

Suatu perbuatan dinilai amal, kalau dalam pelaksanaanya sudah memenuhi syarat-syarat, seperti niat, rukunya sudah tepat, yang membatalkan sudah ditinggalkan, dan sebagainya. Jika hal ini sudah ditepati, amal itu diterima. Sebaliknya, kalau amal itu untuk dijadikan sebagai toriqoh ilallah, ya syaratnya lain lagi, tentu sebagaimana yang berlaku di toriqoh. Nah, kalau bisa, kita melakukan amal ibadah bisa bernilai kedua-duanya; sebagai amal ibadah  dan sebagai toriqoh. Karena ada amal yang tidak memenuhi syarat-syarat amal, tapi ia bisa tusilu ilallah (menjadi toriqoh untuk wushul kepada Allah). Ada juga amal yang diterima, tetapi tidak bisa tusilu ilallah.

Ketika kita menghadapi suatu keadaan, di sini digambarkan, ada taat, ada maksiat, juga ada bala’. Taat, maksiat dan bala’ ini, kita tidak dikhawatirkan ketidakmampuan kita untuk memanfaatkanya menjadi toriqoh atau amal ibadah tusilu ilallah.

Meskipun didalam Al Qur’an sendiri dan juga hadits, telah jelas diterangkan, bahwa apabila kita mau mempelajari dan memahami benar-benar, disana ada tuntunan-tuntunan yang menuntun kita agar dapat memanfaatkan semua keadaan atau amal ibadah menjadi toriqoh yang tusilu ilallah. Pertanyaanya sekarang, bagaimana menggunakan taat, menjadi amal ibadah, menjadi toriqoh yangtusilu ilallah. Yaitu:

Yakni, kita memandang bahwa semua amal ibadah kita ini adalah anugerah dari Allah, bukan sebab daya upaya kita, dan bukan karena usaha kita. Karena itu jangan diaku ketika kita bisa taat, bahwa itu hasil ikhtiar kita, tetapi sadarilah bahwa ini adalah anugerah dari Allah. Walaupun umpamanya, kita sudah lillah, tetapi ketika kita melakukan amal ibadah belum melihat bahwa sesungguhnya bisa beramal itu sendiri merupakan anugerah Allah, berarti kita masih mahjub, terhijab, amal itu masih diaku. Nah, supaya amal itu tidak diaku, kita harus menyadari minnatun minallah (anugerah dari Allah). Dalam istilah Wahidiyah billah, bukan ikhtiar kita. Kalau taat kita sudah kita bilah-kan, hati kita senantiasa ingat kepada Allah, ya otomatis amal atau taat itu menjadi toriqoh kepada Allah.

Dibidang maksiat; bagaimana agar maksiat kita ini bisa dijadikan toriqoh kepada Allah? Yaitu, ketika kita maksiat, kita harus istighfar, merasa hina, merasa dosa dihadapan Allah SWT. Kemudian kita tobat yang sungguh-sungguh kepada Allah, maka maksiat itu akan menjadi toriqoh kepada Allah. Karena itu ada dawuh:

”Maksiat yang didalamnya menimbulkan rasa dosa, nelongso dan menangis meminta ampunan kepada Allah, berdepe-depe tobat dan kembali kepada Allah, itu lebih bagus daripada taat yang tidak ada rasa demikian itu, bahkan menumbuhkan rasa takabur. Karena itulah, maksiat bisa dijadikan toriqoh kepada Allah.

Begitu juga nikmat. Bagaimana nikmat itu agar bisa dijadikan toriqoh kepada Allah. Yaitu kita senantiasa bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah. Baik Syukur bil qalbi, syukur bil lisan, maupun syukur dengan cara menggunakan nikmat itu untuk beramal, sesuai dengan kehendak yang memberi nikmat.

Syukur bil qalbi, kita merasa, menyadari bahwa semua nikmat itu dari Allah SWT. Sadar bahwa nikmat itu adalah anugerah Allah. Juga sebagai ungkapan syukur kita, secara lisan kita berterima kasih kepada Allah dengan memanjatkan puji; Alhamdulillah. Bahkan, kalau perlu disampaikan kepada orang lain: Alhamdulillah saya baru saja mendapat nikmat dari Allah” maksud membicarakan nikmat tentu bukan niat riya’, tapi niat syukur dan menunjukkan nikmat Allah kepada orang lain. Kalau bisa demikian, maka syukur nikmat tadi, bisa menjadi toriqoh kepada Allah.

Begitupun ketika kita mendapat bala’. Ia bisa dijadikan toriqoh kepada Allah. Yaitu ketika kita menerimanya dengan hati ridha, dan sadar bahwa ini adalah qodho-qodar-nya Allah. Kita memandang, ini semua dari Allah semata. Disebabkan banyak dosa-dosa kita.

”Telah tampak berbagai kerusakan di darat dan dilautan. Bencana alam, banjir, angin topan, gunung meletus, kecelakaan, dan sebagainya. Semua ini adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, kata Allah. Hingga dunia menjadi rusak, dan semua barokahnya hilang. Mulai barokah harta-benda, barokah rumah-tangga, semuanya hilang. Semuanya kacau balau. Akibat kerusakan itu kemudian ditimpakan oleh Allah kepada manusia, agar mereka mau sadar dan kembali kepada Allah SWT.” (QS. Ar Rum: 41).

Demikian inilah beliau tuntunan K. Mushonnif kepada kita, kepada Pengamal Wahidiyah khususnya yang telah lama didik Mbah Yahi, untuk menyikapi keadaan maksiat, taat, nikmat dan bala’. Untuk dijadikan toriqoh kepada Allah.

Jadi pada intinya; bukan maksiat menjadi ibadah, tidak. Tapi, bagaimana maksiat itu bisa dijadikan toriqoh ubudiyah yang tusilu ilallah.

Bagi Pengamal Wahidiyah yang telah dididik Mbah Yahi, ketika menghadapi maksiat, taat, nikmat dan bala’. Atau ketika ia dikuasai nafsu, sangat dikhawatirkan ia tidak bisa memanfaatkan keadaan-keadaan tersebut jadi toriqoh ilallah. Yang lebih menghawatirkan lagi apabila taatnya menjadi maksiat, bala’ menjadi maksiat, karena dirinya dikuasai oleh hawa nafsu.

Padahal Mbah Yahi telah mendidik agar kita tidak perlu khawatir lagi menyikapi nikmat taat, maksiat, bala’ ini. Sebab jika kita benar-benar tidak dikuasai hawa nafsu, maka semua keadaan itu bisa untuk dijadikan  toriqoh ilallah. Insya Allah Pengamal Wahidiyah yang telah dididik Mbah Yahi sudah mampu demikian dengan idzin-Nya.

Namun walau ilmiahnya mudah, dipandang mampu, tapi kalau hatinya dikuasai nafsu, sangat dikhawatirkan taatnya menjadi maksiat, apalagi maksiatnya. Nikmatnya jadi maksiat, jadi siksa dan juga bala’nya senantiasa menjerumuskan.

Apabila kondisi seseorang dikuasai nafsu, maka orang ini jelas sudah buta mata hatinya. Ia sudah tidak bisa membedakan mana yang untuk mendekatkan diri kepada Allah, mana yang bukan. Dengan amal taatnya, ia taajjub, bangga dan merasa bahwa “aku bisa beramal”. Bisa beramalnya bukan karena anugerah dari Allah, sebaliknya, ia bangga, taajjub bit-toatihi. Dia tidak lagi memandang bahwa bisa beramal itu adalah minnatun minallah.

Wa tasiru fil maksiat…., dan ketika ia terjerumus kedalam keadaan yang demikian, ia malah terus enak-enakan tanpa menyadari bahwa dirinya dalam kondisi maksiat. Ia tidak segera keluar dari keadaan itu dan cepat-cepat tobat.

Wa tastaqilla…, dan ketika ia mendapat nikmat, ia juga menganggap bahwa nikmat yang diberikan kepadanya itu cuman sedikit. Akhirnya ia tidak mau bersyukur kepada Allah, bahkan terus-menerus ngersulo, mengeluh.

Wa jazaa fil baliyat…, ia juga hanya merasa susah, ketika keadaanya sedang dicoba. Sebaliknya ia tidak segera tobat.

Karena itulah sangat dikhawatirkan, bahwa Pengamal Wahidiyah yang sedang dikuasai nafsu, ketika menyikapi taat, maksiat, nikmat dan baliyat (bala’) akan terjerumus seperti yang disebutkan diatas tadi.

Karena itu, kita dalam kehidupan ini, mari kita koreksi. Apakah keadaan kita lebih banyak taatnya, atau lebih banyak maksiatnya.

Kita juga harus menyadari, bahwa kita ini tidak bisa lepas dari nikmat Allah. Akan tetapi, didalam nikmat itu sesungguhnya ada bala’ atau musibah. Yang dimaksud musibah disini adalah ketika nikmat itu sesungguhnya kita aku sendiri, bukan dari Allah. Dan kita menyalahgunakan nikmat itu bukan untuk toriqoh inallah. Inilah yang dimaksud musibah.

Karena itulah, kita dididik oleh Mbah Yahi, bagaimana agar kita tidak bingung, jangan sampai jumbuh istilah disini, bingung, tidak mampu menggunakan melaksanakan taat untuk toriqoh ilallah. Karena itulah, apabila kita mendapat nikmat, bisa taat, maka janganlah diaku, tapi harus billah, bahwa ini semata-mata adalah anugerah Allah SWT. Kita juga harus terus bersyukur, terus berdepe-depe dan tobat memohon ampun kepada-Nya. Begitu juga, apabila kita ‘diberi’ maksiat, jangan susah. Karena itu qadha-qodhar-Nya Allah. Tetapi susahlah pada perbuatanya, nangis, tobat kepada Allah SWT. Dan apabila mendapat nikmat ya disyukuri:

”Dan sekiranya kamu menghitung-hitung nikmat yang telah diberikan Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34).

Nikmatnya Allah itu tidak bisa dihitung. Karenanya, Allah hanya meminta kita untuk mensyukurinya. Dan apabila kita mendapat baliyat atau cobaan, kita harus sadar bahwa ini adalah peringatan dari Allah. Iya kalau cobaan itu yang ngelaraake teng nafsu (menyusahkan/ menyakitkan pada nafsu). Tapi, kalau cobaan itu jutru yang mengenakkan nafsu kita, kita terlena nanti. Di coba sakit, dicoba jatuh usaha kita, ini biasanya kita tahu. Tapi, kalau kita dicoba kaya, ampuh, kita ndak tahu… Hingga cobaan itu membuat kita bingung, tidak bisa menggunakannya untuk tusilu ilallah SWT. Hati-hati… dan harus lebih hati-hati lagi, ketika hawa nafsu itu menguasai kita, hingga kita berani mengaku bisa beramal ibadah.

Bahkan, jika hati kita sudah tertutup oleh nafsu, maka kita akan enak-enakkan didalam maksiat, sehingga nikmat yang banyak yang kita terima dari Allah SWT, tidak bisa kita rasakan. Begitu juga baliyat (bala’) yang sebenarnya sifatnya peringatan dari Allah, justru dianggapnya sebagai siksa.

Juga ada dawuh, laa yukhafu alaika… (sudah tidak dikhawatirkan lagi…). Maksud dawuh ini adalah ‘tidak dikhawatirkan bingung’ membedakan antara mana perbuatan maksiat dan mana perbuatan taat. Juga tidak dikhawatirkan bingung memilih, mana ketaatan yang harus lebih diutamakan, mana yang tidak.

Tapi bahasanya di sini, adalah ‘dikhawatirkan bingung’ memilih, antara meksiat dan perbuatan taat untuk digunakan toriqoh kepada Allah.

Sekarang bagi Pengamal Wahidiyah, sudah tidak dikhawatirkan lagi bingung memilih mana yang lebih penting dan manfaat, mana yang tidak. Karena pengamal sudah dewasa, sudah bisa taqdimul aham fal aham tsumal anfa’ fal anfa’. Tidak dikhawatirkan bingung memilih diantara amal-amal yang tusilu ilallah. Seperti shalat, syiam (puasa), zakat, dzikir dan sebagainya. Sudah tidak dikhawatirkan bingung memilih mana yang lebih utama, yang lebih aham, dan yang labih anfa’. Karena kita sudah diberi taqdimul aham fal aham tsumal anfa’ fal anfa’.

Tetapi, apabila kita dikuasai hawa nafsu, pasti kita menjadi bingung untuk memilih; mana yang lebih utama, mana yang tidak. Sehingga dalam melakukan amal perbuatan tidak istiqomah. Terkadang mengerjakan yang ini, terkadang yang itu. Terus…. Begitu. Kadang-kadang, mempeng, giat. Kadang tidak sama sekali. Ia bingung karepe dewe (bingung sendiri/ tanpa sebab). Oleh karena hatinya terombang-ambing nafsunya. Mengamalkan amalan yang ini, ia tidak merasakan ada atsar di hatinya. Semakin ia mempeng (sungguh-sungguh), justru semakin gelap hatinya dari Allah. Bahkan saking bingungnya, kembali ia ganti amalan lagi, kemudian ganti lagi, dan seterusnya. Tetapi yang ia dapat bukan rasa nikmat dalam hati, namun hanyalah rasa kesel nggak ada hasilnya… Sebab apa? Sebab ia tidak memilih mana yang lebih aula, lebi anfa’ dan lebih aman.

Orang yang demikian ini, biasanya adalah orang-orang yang tidak dalam bimbingan Asy Syaikhul Kamil Mukamil. Kerena tidak mendapat bimbingan Syaikh Kamil Mukamil, maka hatinya dikusai nafsu. Akibatnya, ia bingung memilih; mana yang aula atau aham, mana yang tidak.

Oleh karena dirinya dikuasai nafsu, maka hatinya tercegah, tertutup untuk melihat jalan yang terbaik yang mestinya ia gunakan untuk toriqoh ilallah SWT. Maka saat ia mencari amalan, hanyalah amalan yang sifatnya agar bisa mendekatkan diri kepada Allah. Itu saja. Tetapi ia sendiri tidak mampu membedakan mana amalan yang sungguh-sungguh efektif, atsar-nya banyak, dan mampu tusilu ilallah. Pokoknya, amalan yang bisa mendekat kepada Allah, ya diamalkan.

Karena ia mendapatkan amalanya hanya asal-asalan, kemudian ‘pokoknya mengamalkan’, tidak ada bimbingan guru Kamil Mukamil, hatinya dikuasai nasu pisan, hal ini membuat hatinya semakin gelap, hingga ia tidak bisa melihat mana yang aham, mana yang anfa’. Akhirnya, perjalanan ruhaninya menuju Allah, kembali dari awal, dari bawah lagi.

Namun demikian. Walaupun ia tidak mampu memilih mana yang aham dan mana yang anfa’, oleh karena ia terus mengamalkan amalan yang didapatnya itu, akhirnya Allah pun menolong, hatta yajmuka… Sehingga kamu dipertemukan dengan guru Kamil Mukamil yang memberikan bimbingan dan menunjukkan kamu untuk menuju Allah SWT. Dan akhirnya kamu di dalam bimbingan seorang guru Syaikh Kamil Mukamil itu.

Bagi kita Pengamal Wahidiyah, ini sangat penting sekali. Jangan sampai kita terpeleset. Kita menjadi pengamal sudah lama sekali. Apalagi kita sudah pengamal sejak kecil hingga besar seperti sekarang ini. Jangan sampai, kalau diajak ngomong ajaran kayak-kayak alim, kayak menguasai ilmu toriqoh, ilmu lillah dan billah. Tapi, setelah itu selesai. Cuma ngomong-omong saja, namun hatinya tidak dredeg, tidak bergetar sama sekali seperti omonganya. Sebaliknya, kalau diomongi, ganti nyembur, ganti ngomongi. Namun hatinya jauh dari apa yang dibicarakan. Hingga ketika ia menghadapi empat masalah seperti dalam bahasan diatas, ia bingung; mana yang diamalkan. Justru ia terus gonta-ganti amalan; ngamalkan ini, kemudian ganti ngamalkan itu, terus ganti lagi ngamalkan yang ini. Karena hati kita telah dikuasai nafsu.

Bahkan mungkin juga, hanya doa saja yang ia amalkan; pengen surga, pengen jauh dari neraka, pengen ini dan itu, sehingga tujuan yang utama yaitu wushul kepada Allah kalah di tengah jalan, kalah dengan kebutuhan ekonominya. Begitulah kalau hati kita telah dikuasai nafsu. Hati kita terombang-ambing, hingga kita selalu gonta-ganti amalan. Suatu saat mengamalkan ini, suatu saat tidak. Hingga jadinya tidak istiqomah.

Begitu juga, meski yang diamalkan jelas-jelas amalan Wahidiyah, namun karena ia tidak pernah datang di jama’ah, tidak pernah Usbu’iyah, tidak pernah datang di Rubu’usanah, hingga tidak ada penjelasan-penjelasan yang membawa dia untuk tusilu ilallah, sama dengan tidak dibimbing oleh Syaik Kamil Mukamil, maka ia pun tetap akan merasakan kebingungan. Akhirnya ia hanya bisa ngamuk, menuruti nafsunya sendiri. Pokoknya dia mengamalkan… Hati-hati, jangan-jangan yang dikhawatirkan olehmushannif (penyusun Kitab Al Hikam), atau Mualif Shalawat Wahidiyah ini terjadi pada pengamal Wahidiyah yang lama.. mari kita koreksi diri kita sendiri.. Allahu a’lam Al Fatihah…

 

Pengajian Al Hikam Oleh: Hadrotul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid, RA.

DUNIA

oleh Wahidiyah

Dunia itu keruh maka kita jangan janggal  atau ganjil terhadap kekeruhan tersebut selagi kita masih berada dalam dunia yang fana’ ini. Jadi selamanya kita masih berada didunia, kekeruhan-kekeruhan sedikit banyak moral maupun materiil, langsung atau tidak langsung pasti akan ditemui. Sebab memang kekeruhan itu adalah pembawaan dari dunia. Hidup didunia ya kekeruhan itu, bila tidak mau mengalami kekeruhan, itu tidak mungkin terjadi.

 

Beliau Sayyidina Ja’far Shodiq beliau juga dhurriyah sayyidina Ali KW mengatakan:

”Barangsiapa mencari barang yang tidak diciptakan, tidak dibuat oleh Allah SWT, itu hanya menyusahkan membuat dirinya capek dan tidak akan berhasil”.

 

Syekh Ja’far Shodiq ditanya:

”Apakah itu barang yang tidak dicipta oleh Allah SWT?”. Jawabnya: ”Ar-Rohah fiddunnya”. Ingin enak dan kepenak didunia.

 

Jadi orang hidup di dunia, hanya ingin enak kepenak saja itu tidak mungkin, mustahil. Dan usaha barang yang mustahil, hanya membuang-buang waktu dan tenaga dengan percuma, tidak ada gunanya sama sekali. Kalau begitu, seharusnya, kita tidak boleh hanya memperhatikan ingin enak dan kepenak saja di dunia, tapi harus terus berjalan. Jalan terus melalui kekeruhan-kekeruhan hidup, melalui lika-liku suka dan duka melalui…. Bermacam-macam rintangan dan kesulitan.

 

Jalan terus maju Fafirruu Ilallah wa Rasulihi SAW. Kalau kita sudah dapat sowan kehadirat Allah SWT wa Rasulihi SAW, atau sudah berada di hadratullah, disana akan lenyap kebutekan-kebutekan, akan menjadi hilang kekeruhan-kekeruhan, berganti dengan suasana cemerlang dengan memperoleh sinar cahaya ”Matahari ma’rifat kesadaran”. Adanya kita senantiasa dalam suasana Syuhud, sowan dihadapan Allah SWT yang mempunyai sifat Maha Luhur, Maha Ghoffar, Maha Pengampun dosa-dosa dll. Apabila kita sudah senantiasa berada dihadapan Allah SWT, maka hilanglah segala kekeruhan dan kesulitan-kesulitan dalam hidup di dunia ini, mengapa tidak?. Karena orang yang senantiasa berada dihadapan Allah SWT akan senantiasa, merasa puas, ridho kepada Allah SWT. Dia sebagai hamba dan Allah Tuhanya. Segala, sesuatu yang dibuat oleh Tuhanya terhadap Hamba-Nya, jika dia seorang hamba yang sungguh-sungguh, otomatis senantiasa puas, gembira, diperbuat apa saja. Bahkan dirugikan sekalipun, justru yang memperbuat itu Tuhanya yang Rouf Rohim, dia senantiasa ridha dan puas.

 

Tapi kalau orang yang belum bisa sowan dihadapan Allah SWT, sekalipun disisinya serba ada, serba otomatis serba lux, serba berlimpah, serba….. serba…  yang lain, tapi justru makin banyak serba-serba itu tadi justru makin banyak mendatangkan kekeruhan-kekeruhan, kenapa demikian?. Karena orang mungkin banyak bertanya, makin banyak dunianya, makin pusinglah dia memikirkan akan hartanya agar supaya terus-menerus bertambah lagi. Agar hartanya aman dan selamat dari gangguan-gangguan, agar usahanya makin lancar. Dia memikirkan bagaimana agar pegawai dan para pembantu-pembantunya tidak menyalah gunakan tidak menyeleweng. Disamping itu semua otomatis senantiasa menginginkan keadaan yang lebih tinggi lagi. Ngongso-ngongso (jawa).  Ingin memiliki apa-apa yang lebih atas dari apa yang sudah dimiliki sekarang, itu pasti. Meributkan pikiranya pokoknya makin banyak dunianya, makin repot lahiriyahnya, maupun batiniyahnya, banyak lamunan-lamunanya yang justru membikin makin repot makin keruhnya diri sendiri.

 

Jadi orang yang sudah sadar otomatis  segala kekeruhan-kekeruhan itu hilang dengan seidzin Allah SWT. Otomatis kalau diberi oleh Allah SWT dia merasa puas sekali. Bukan karena memperoleh  peparing pemberian Allah itu, tetapi dia puas karena diberi oleh Tuhanya yang senantiasa dirindukanya. Tuhanya yang senantiasa kasih sayang kepada hamba-Nya. Kalau dia melakukan sesuatu perbuatan atau mengalami keadaan-keadaan yang tidak diinginkan, kalau dia dicoba menghadapi  keadaan-keadaan yang tidak diinginkan. Dia tetap gembira, sebab yang mencoba yang menguji adalah Tuhanya. Tuhanya yang selalu dia cintai. Otomatis senantiasa ayem tentrem. Tidak ada sama sekali yang di takuti dan yang dikhawatirkan. Sebab dia selalu menyadari dan gembira bahwa semuanya di tangan Tuhan.

 

”Barangsiapa, yang mau masuk ke maqam Ibrahim, yang sesungguhnya bukan maqam yang ada didekat ka’bah itu, tetapi yang sesungguhnya adalah dihadirat Ilahi Rabbi.”

 

Tempat yang didekat Ka’bah itu adalah suatu gambaran atau suatu tanda. Tapi maqam yang sesungguhnya adalah maqam kekasih Tuhan “Kaana aaminan”, dia pasti aman.

Pasti aman mengapa?, karena dia dikasih sayang oleh Allah SWT. Dengan segala sesuatu dari Allah SWT, baik itu aman atau tidak adalah ditangan Allah SWT.

 

Juga pada akhir-akhir ini, soal ekonomi banyak diributkan, secara lahiriyah maupun batiniyah, ya inilah dunia. Kalau kita tidak ingin kalang kabut, kita harus cepat-cepat Fafirruu Ilallah wa Rasulihi SAW, sowan dihadapan Allah SWT, sekalipun orang lain memandang lahiriyah kita jungkir balik, saking repotnya tapi kalau mau sowan senantiasa kehadirat Allah SWT. Pasti kita akan ayem tentrem aman dunia dan akhirat.

 

Orang didunia yang masih senantiasa terpengaruh oleh keruhnya dunia lalu merasa sudah tidak mampu menahan deritanya, tapi kalau dia tidak capat-cepat mengungsi ditempat yang aman, yaitu”Hadratullah”. Apalagi kalau sudah didatangi Malaikat Izra’il jauh lebih keruh. Oleh karena itu kita harus cepat-cepat sowan dihadapan Allah SWT, kita mengikuti masuk kedalam ”Maqam Nabi Ibrahim” yaitu maqam kekasih Allah SWT.

 

Seseorang tidak akan mengalami jalan buntu, tidak akan mengalami hambatan lebih-lebih kegagalan seseorang yang memperjuangkan apa yang dia perjuangkan. Selama dia di dalam memperjuangkan atau mengusahakan senantiasa Fafirruu Ilallah wa Rasulihi SAW. Senantiasa berdepe-depe memohon kepada Allah SWT.

 

Begitu sebaliknya, tidak akan lancar senantiasa menemui jalan buntu atau kegagalan apabila didalam usaha atau berjuang apa yang diperjuangkan itu hanya mengandalkan kemampuan dan kekuatanya sendiri tanpa menyerahkan dan memohon pertolongan kepada Tuhanya.

 

Orang yang  memperjuangkan apa saja yang diperjuangkan, selama dia senantiasa “tawakkal”senantiasa menyerah bongkoan kepada Allah SWT pasti akan lancar usahanya dan tidak akan mengalami jalan buntu. Sekalipun misalnya, dalam segi lahiriyah kelihatan dia buntu tidak berhasil, tapi justru itu yang paling menguntungkan dia. ‘indallah dan fii yaumil qiyamah terutama. Tapi sebaliknya, berjuang atau usaha apa saja lalu hanya mengandalkan, membanggakan kemampuanya, tidak akan menemui jalan lancar, senantiasa buntu, kandas ditengah jalan. Sekalipu n pada lahiriyahnya kelihatan lancar dan berhasil, apa yang ia usahakan dan perjuangkan, sukses, tapi justru sukses dan lancarnya ini menjerumuskan membahayakan dirinya. Terutama diyaumil qiyamah nanti.

 

Dengan keterangan tersebut sudah jelas, kita tinggal pilih satu diantara dua, yang menguntungkan atau merugikan. Kita diberi kemampuan tinggal pilih yang mana, memilih ini buahnya begini, memilih itu buahnya begitu. Hal tersebut kita sudah tahu, maka terserah masing-masing. Tapi kita sebagai manusia yang berakal, tentunya memilih yang menguntungkan dan menyelamatkan serta membahagiakan dunia akhirat. Andaikan kita tidak mau memilih, hal tersebut tidak akan terjadi dari kedua soal tersebut. Sebab kalau tidak ditempat yang selamat dan bahagia pasti ditempat yang satunya yaitu celaka dan sengsara dunia akhiratnya. Kita tidak bisa menyelamatkan diri kedua-duanya. Kita harus menempuh satu diantara dua soal tersebut. Hal tersebut barang yang sudah pasti, kita tidak akan bisa menolak, harus melaksanakan. Oleh karena itu, harus kita pilih yang paling menguntungkan pada diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat pada umumnya serta yang paling bermanfaat dan diridhai Allah SWT wa Rasulihi SAW.

 

Barangsiapa mendasarkan bermacam-macam hajatnya (Billah) kepada Allah SWT dan senantiasa berdepe-depe mengharap Rahmat karunianya dan dengan tawakkal menyerah bongko’an kepada Allah segala persoalannya, pasti Allah mendatangkan ketenangan dan ketentraman, mendekatkan apa-apa yang jauh dan memudahkan apa-apa yang sukar.

 

Jadi siapa saja yang berjuang atau usaha, baik perjuangan secara, umum atau perseorangan dia disamping menggunakan kemampuan lahiriyahnya dia harus senantiasa menyerah bongko’an kepada Allah SWT. Senantiasa merintih, berdepe-depe kehadirat Allah SWT, otomatis pasti di jangkung oleh Allah. Sehingga didalam usaha atau berjuang tadi mengalami lancar dan gampang, sukses bermanfaat. Sekalipu n pada suatu ketika menemui macet atau buntu. Tapi justru ini yang paling bermanfaat bagi dia. Terutama besok diyaumil Qiyamah, begitu juga sebaliknya, orang yang mengandalkan kemampuanya, fikiranya, keahlianya, itu sama sekali kosong, vacum. Hubungan dia dengan Allah SWT yang sesungguhnya dia senantiasa membutuhkan sekali dari Allah SWT, tapi oleh dia di putusi sendiri. Otomatis mengalami buntu dan gagal total. Sekalipun pada suatu ketika atau senantiasa sukses dan lancar. Tapi suksesnya itu sesungguhnya mengakibatkan kerugian besar bagi dirinya sendiri, terutama pada yaumil qiyamah.

 

Ini semua kita tinggal pilih. Yang sehat dan normal tentunya kita memilih yang pertama tadi, jalan selamat membahagiakan dunia akhirat. Tapi kalau kita glonjom, kita sendiri yang akan mengalami kerugian dunia akhirat.

 

Bahkan keluarga  yang tidak tahu menahu persoalanya ikut merasakan pahit getirnya kekeruhan akibat perbuatan kita. Oleh karena itu sebagai koreksi, kita sudah tepat atau belum. Mana yang sudah tepat kita pelihara, dan usaha menyempurnakan dan meningkatkannya. Kita hidup didunia  hanya sekali ini dan hanya sekejab saja dibanding dengan hidup di akhirat kelak. Sebab kalau sudah terlanjur pindah ke alam akhirat, sudah didatangi Izra’il, tidak bisa lagi kembali kedunia. Kalau kita meleset ya akan meleset terus selama-lamanya. Kalau pada waktu itu kita jatuh terjerumus kemudian tahu-tahu Izra’il datang maka kita juga akan terjerumus selama-lamanya.

 

Oleh karena itu kita harus menaruh perhatian yang sungguh-sungguh. Malaikat Izra’il datangnya tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Segar-bugar tahu-tahu mati, banyak. Lebih-lebih ketika sakit. Masih kanak-kanak banyak juga yang mati, lebih-lebih yang sudah tua. Kalau kita terlanjur keluar dari dunia tidak akan bisa kembali lagi. Di jagad mana saja baik di barat maupun ditimur, di Rusia, Amerika atau dimana saja orang yang sudah mati tidak akan hidup kembali. Mulai Nabi Adam AS sampai besok Qiyamat tidak ada orang yang mati hidup kembali, kecuali ketika zaman Nabi Isa AS. Kemudian dia bertobat. Tapi inipun tidak lama. Tapi untung dia sudah keadaan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT. Tapi ya itu sejagad hanya satu itu yang bisa hidup sesudah mati lantaran dihidupkan Nabi Isa AS. Setelah dia mengalami yang mati pertama tadi, dia mengalami betapa beratnya disiksa di dalam kubur lalu dia beruntung sekali karena dihidupkan oleh Nabi Isa AS. Kemudian segala kemampuanya digunakan sungguh-sungguh untuk Fafirruu Ilallah. Jadi kalau kita tidak sungguh-sungguh karena ragu-ragu, sebab tidak konsekuen dengan keyakinanya. Percaya tapi tidak konsekuen itu berarti ragu? Orang sudah pindah ke alam akhirat tidak bisa kembali kedunia. Wallahu a’lam 

 bishowab.

Aku tapaki jalan ini penuh pinta, anakku. Kesenangan adalah impian yang kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang belulang, sebab dunia terlalu pahit untuk diperebutkan. Tak ada yang abadi dari permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia yang mati. Dan kita hanya menunggu kematian dipergilirkan.

Mengenangkan orang-orang tercinta, anakku, adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan kebaikan-kebaikan mereka semua. Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan lupa pada tujuan penciptaan ini. Maka aku pesankan, anakku, arahkanlah pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk bersiap-siap…

Aku tapaki jalan ini penuh airmata, anakku. Aku pernah sakit berbulan-bulan dengan jantung yang sedikit bermasalah. Aku akhirnya bisa bangkit ketika aku belajar melupakan rasa sakit dan tidak sibuk meratap dengan apa yang dikatakan oleh dokter tentang harapan sehat bagi diriku. Kudidik diriku untuk tidak diam terpaku menanti waktu habis di pembaringan. Aku akhirnya bisa duduk dengan tegak tanpa penyakit jantung yang membuat nafas bapakmu megap-megap, ketika bapakmu belajar untuk memberi manfaat bagi manusia. Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya adalah ketika kita bisa memberi manfaat, atau ketika belum sanggup kita mengambil manfaat dari sesama.

Aku namakan dirimu Muhammad Hibatillah Hasanin karena ingin sekali bapakmu ini menjadikan dirimu sebagai hamba-Nya yang memberi manfaat kebaikan sangat besar bagi ummat. Tidaklah aku namakan dirimu dengan main-main. Ada doa yang kuharap dengan sungguh-sungguh melalui nama yang kuberikan itu, anakku. Ada harapan yang kutanam dengan membaguskan namamu, sebagaimana Nabi Saw pernah berpesan kepada kita. Mudah-mudahan dengan membaguskan namamu, Allah ‘Azza wa Jalla meninggikan derajatmu di antara manusia yang ada di muka bumi ini.

Nama itu aku berikan kepadamu, Nak karena engkau adalah anugerah yang amat berharga dari Allah ‘Azza wa Jalla. Engkau lahir di bulan Maret tanggal 18, ketika bapakmu sedang belajar mendakwahkan agama ini dengan ilmu yang tak seberapa. Malam ketika bapak tiba di penginapan, ibumu memberi kabar masuk rumah sakit untuk bersalin. Ingin rasanya bapakmu segera pulang agar bisa menunggui persalinan itu. Tetapi ada tugas yang harus dituntaskan. Gelisah rasanya bapakmu untuk segera kembali karena tahu bahwa di saat-saat seperti ini, tentu ibumu sangat butuh pertolongan. Tetapi andaikan pun bapakmu segera bergegas pulang, perjalanan terlalu jauh untuk bisa ditempuh dengan waktu singkat.

Maka, kemanakah bapakmu harus berlari kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta pertolongan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta keselamatan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus mengeluh di saat manusia sudah terlelap tidur, kalau bukan kepada Allah? Bukankah kalau kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Ia akan menyambut kita dengan berlari? Bukankah kalau kita berjalan kepada-Nya selangkah, Ia akan mendekati kita beberapa langkah?

Di saat bapakmu sedang dalam kegelisahan, ada kabar yang datang dari ibumu bahwa bayi yang akan dilahirkannya sungsang. Petugas mengatakan, kemungkinan baru bisa bersalin siang hari dan kemungkinan besar harus melalui operasi. Padahal waktu itu baru melewati tengah malam. Sangat panjang waktu yang harus dilalui untuk sampai ke siang hari, andaikata perkiraan itu benar.

Maka aku bersihkan diri dan bersuci. Aku serahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sendirian di malam itu aku bermunajat kepada Allah, menyungkurkan kening yang hina ini untuk berdoa kepada-Nya. Di sujud yang terakhir, kumohon dengan sangat agar Ia berkenan memberi keajaiban—ah, rasanya bapakmu belum santun dalam berdoa. Kumohon dengan sangat agar Ia memberi pertolongan.

Dan engkau tahu, anakku, Allah Ta’ala adalah sebaik-baik tempat meminta dan sebaik-baik pemberi. Ia lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Pemurah. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.s. al-‘Alaq [96]: 1-5).

Seusai shalat dua raka’at dan memanjatkan doa, anakku, segera bapakmu ini mencari kabar tentang dirimu. Kutelepon ibumu dengan harap-harap cemas. Nyaris tak percaya, anakku, Allah Ta’ala benar-benar memberi keajaiban. Seorang sahabat bapak, Mohammad Rozi namanya, yang istrinya menunggui ibumu bersalin, mengabarkan bahwa engkau telah lahir dengan mudah dan lancar. Kelahiranmu, rasanya, anugerah yang tak ternilai harganya. Banyak pelajaran yang bapak renungkan dari peristiwa itu dan ingin kubagi denganmu beserta saudara-saudaramu. Rasanya, setiap kelahiran dari kalian adalah pelajaran berharga tentang kekuasaan, kasih sayang dan kemahapemurahan Allah. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik tempat meminta. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik penjaga.

Teringat aku pada sebuah ungkapan, “Sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Kata Umar bin Khaththab r.a., “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.”

Keajaiban yang mengiringi kelahiranmu, mengingatkan bapak agar meyakini janji Allah tanpa ragu. Telah berfirman Allah Ta’ala dalam al-Qur`an, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.s. Muhammad [47]: 7).

Apakah Allah butuh pertolongan? Tidak. Sama sekali tidak, Nak. Maha Suci Allah dari membutuhkan pertolongan. Tetapi seruan Allah Ta’ala ini bermakna agar engkau mengingati tugas yang dipikulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita semua. Sesungguhnya tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Tugas kita sebagai khalifatullah di muka bumi ini, anakku, juga di atas pijakan pengabdian kepada-Nya. Kernanya, makmurkanlah bumi ini sehingga engkau menjadi hadiah Allah bagi ummat dengan menghidupkan tauhid di dalam dadamu dan langkah-langkahmu. Mudah-mudahan dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau kerjakan.

Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati, Anakku. Meski jiwa bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan, tetapi sembari memohon pertolongan kepada Allah Yang Menciptakan, izinkan bapakmu berpesan. Ingatlah, wahai Anakku, jangan pernah engkau lepaskan Allah Ta’ala dari hatimu. Genggamlah kesucian tauhid dalam akidahmu sekuat-kuatnya. Cengkeramlah dengan gigi gerahammu sehingga menjiwai setiap kata dan tindakanmu.

Belajarlah mencintai Tuhanmu menurut cara yang dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan yang tidak disukai-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati. Mereka mengira sedang memuja Allah, padahal sesungguhnya sedang mencari keasyikan diri untuk menemukan saat-saat yang “memabokkan” (isyiq). Melalui cara ini, kepenatan jiwa memang pergi, Anakku. Tetapi bukan itu yang harus engkau lalui. Bukan itu jalan yang akan membawamu pada ketenangan dan kedamaian. Ia hanya membuatmu lupa sejenak dengan beban-beban duniamu. Sesudahnya, engkau akan segera kembali dalam kepenatan yang melelahkan. Kernanya, ada yang kemudian benar-benar bukan saja lupa pada beban dunianya untuk sementara, tetapi bahkan sampai lupa tanggung jawab dan lupa pada diri sendiri.

Sesungguhnya, ketenangan dan kedamaian jiwa yang sebenar-benarnya ada bersama dengan kebenaran. Sesungguhnya ketenangan itu karena engkau menghadapkan wajahmu kepada Allah untuk mencari ridha-Nya. Engkau kembali dan senantiasa berusaha kembali kepada-Nya, atas setiap khilaf yang terjadi setiap hari, kerna manusia memang tempat salah dan lupa. Semoga dengan demikian kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan seruan, “Wahai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Artinya, bukan ketenangan itu yang menjadi tujuan dari zikir-zikir panjangmu, Anakku. Tetapi ketenangan itu muncul sebagai akibat dari kokohnya keyakinanmu pada Tuhanmu. Sungguh, jangan jadikan agama ini sebagai candu sehingga hatimu jadi beku. Tetapi berjalanlah di atasnya sesuai dengan tuntunan wahyu. Bukan ra’yu. Semoga dengan demikian jiwamu akan terang, hatimu akan tenang dan di akhirat nanti engkau akan meraih kemenangan. Semoga pula kelak engkau akan aku banggakan di hadapan Tuhanmu.

Aku ingin pesankan satu lagi, Anakku. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala tidak menjaminkannya bagimu, mintalah kepada-Nya dan berusahalah untuk meraihnya. Iman dan kemenangan di Hari Akhir, termasuk di antaranya. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala telah jaminkan bagimu dan bagi seluruh makhluknya, ketahuilah kunci-kuncinya. Rezeki termasuk di dalamnya.

Gunakanlah rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman. Jangan mengorbankan akhirat untuk dunia yang cuma segenggam. Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia. Gunakanlah dunia untuk “membeli” akhirat.
Wallahu a’lam bishawab. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada bapakmu ini kecuali sangat sedikit saja.

Diambil dari Buku yang berjudul ‘Saat Berharga Untuk Anak Kita’
Penulis: Mohammad Fauzil Adhim

Ibuku Seorang Pembohong ? Sukar untuk orang lain percaya, tapi itulah yang terjadi, ibu saya memang seorang pembohong!! Sepanjang ingatan saya sekurang-kurangnya 8 kali ibu membohongi saya. Saya perlu catatkan segala pembohongan itu untuk dijadikan renungan anda sekalian. .

Cerita ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan minum serba kekurangan. .

PEMBOHONGAN IBU YANG PERTAMA.

Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa makan ikan asin satu keluarga.. Sebagai anak yang masih kecil, saya sering merengut. Saya menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untuk saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : “”Makanlah nak ibu tak lapar.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDUA.

Ketika saya mulai besar, ibu yang gigih sering meluangkan watu senggangnya untuk pergi memancing di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami. Pulang dari memancing, ibu memasak ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu saya memakan ikan itu, ibu duduk di samping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang saya makan tadi.Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati saya tersentuh lalu memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETIGA.

Di awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue untuk dijual sebagai tambahan uang saku saya dan abang. Suatu saat, pada dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur.. Saya melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa kali saya melihat kepala ibu terangguk karena ngantuk. Saya berkata : “Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum ngantuk.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT.

Di akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah untuk turut menyemangati. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada allah agar saya lulus ujian dengan cemerlang. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera menyambut saya dan menuangkan kopi yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Kopi yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan saya itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-cepatmenolaknya dan berkata : “Minumlah nak, ibu tak haus!!”

PEMBOHONGAN IBU YANG KELIMA.

Setelah ayah meninggal karena sakit, selepas saya baru beberapa bulan dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah kepada kami sekeluarga. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi dan menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu… Para tetangga sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan nafkah untuk kami sekeluarga.. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata : “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEENAM.

Setelah kakak-kakak saya tamat sekolah dan mulai bekerja, ibu pun sudah tua. Kakak-kakak saya menyuruh ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun begitu ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : “Jangan susah-susah, ibu ada uang.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETUJUH.

Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan lagi untuk mengejar gelar sarjana di luar negeri. Kebutuhan saya di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang, kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah membiayai sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, saya berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar negeri. Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; “Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam saya menerimaberita ibu diserang penyakit kanker di leher, yang akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku karena terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya. Saya dapat melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh ibu, sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus.. Saya menatap wajah ibu sambil berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakitsekali melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetaptersenyum dan berkata : “Jangan menangis nak, ibu tak sakit.” Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali. Dibalik kebohongannya, tersimpan cintanya yang begitu besar bagi anak2nya. Anda beruntung karena masih mempunyai orangtua… Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau orangtua anda jauh dari mata, anda boleh menelponnya sekarang, dan berkata, “Ibu/Ayah, saya sayang ibu/ayah.” Tapi tidak saya lakukan, hingga kini saya diburu rasa bersalah yang amat sangat karena biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir.Ibu, maafkan saya. Saya sayang ibu…….

Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Alloh ta’ala

Segala puji ku panjatkan ke hadirat Alloh ta’ala, yang telah memudahkan ibu untuk beribadah kepada-Nya.

Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, keluarga, dan para sahabatnya.

Wahai anakku…

surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.

Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis. Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.

Wahai anakku…

Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu, dan telah engkau robek pula perasaannya.

Wahai anakku…

25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.

Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan semua ibu sangat mengerti arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu.

Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.

Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah. Bersamaan dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan kakimu, atau balikan badanmu di perutku.

Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila semakin hari semakin berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di dalam rahimku.

Anakku…

Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam itu, yang aku tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.

Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata tangismu.

Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.

Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.

Wahai anakku…

Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku, kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku.

Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.

Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…

Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari kepergianmu.

Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka. Tangis telah bercampur pula dengan tawa.

Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih karena engkau adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi dari diriku.

Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.

Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang.

Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.

Anakku…

Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.

Yang ibu pinta kepadamu:

Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.

Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.

Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan dengan ibumu.

Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu.

Yang ibu tagih kepadamu:

Jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik.

Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi. Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.

Anakku…

Telah bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…

Akan tetapi, yang tidak pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku kepadamu… masih seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering… masih seperti angin yang tidak pernah berhenti…

Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikan dengan kebaikan, sedangkan ibumu, mana balas budimu, mana balasan baikmu?! bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air serupa?! bukan sebaliknya air susu dibalas dengan air tuba?! Dan bukankah Alloh ta’ala, telah berfirman:

هل جزاء الإحسان إلا الإحسان

Bukankah balasan kebaikan, melainkan kebaikan yang serupa?!

Sampai begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu.

Wahai anakku…

Setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak?! Karena engkau adalah buah dari kedua tanganku… Engkau adalah hasil dari keletihanku… Engkaulah laba dari semua usahaku…

Dosa apakah yang telah ku perbuat, sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!

Pernahkah suatu hari aku salah dalam bergaul denganmu?!

Atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?!

Tidak dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang terhina dari sekian banyak pembantu-pembantumu yang mereka semua telah engkau beri upah?!

Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?!

Dapatkah engkau sekarang menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua yang malang ini?!

إن الله يحب المحسنين

Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berbuat baik.

Wahai anakku…

Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.

Wahai anakku…

Hatiku terasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan, bahwa engkau adalah laki-laki yang supel, dermawan dan berbudi.

Wahai anakku…

Apakah hatimu tidak tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang lemah, binasa dimakan oleh rindu berselimutkan kesedihan, dan berpakaian kedukaan?!

Mengapa? Tahukah engkau itu?! Karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… Karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… Karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim.

Wahai anakku…

Ibumu inilah sebenarnya pintu surga, maka titilah jembatan itu menujunya… Lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, kemaafan, dan balas budi yang baik… Semoga aku bertemu denganmu di sana, dengan kasih sayang Alloh ta’ala sebagaimana di dalam hadits:

الوالد أوسط أبواب الجنة فإن شئت فأضع ذلك الباب أو احفظه

Orang tua adalah pintu surga yang paling tinggi. Sekiranya engkau mau, sia-siakanlah pintu itu, atau jagalah! (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishohihkan oleh Albani)

Anakku…

Aku mengenalmu sejak dahulu… semenjak engkau telah beranjak dewasa… aku tahu engkau sangat tamak dengan pahala… engkau selalu cerita tentang keuatamaan berjamaah… engkau selalu bercerita terhadapku tentang keutamaan shof pertama dalam sholat berjamaah… engkau selalu mengatakan tentang keutamaan infak, dan bersedekah…

Akan tetapi satu hadits yang telah engkau lupakan… satu keutamaan besar yang telah engkau lalaikan… yaitu bahwa Nabi –shollallohu alaihi wasallam– telah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdulloh bin Mas’ud, ia mengatakan:

سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قلت: يا رسول الله أي العمل أفضل؟ قال: الصلاة على ميقاتها. قلت: ثم أيُّ؟ قال: ثم بر الوالدين. قلت: ثم أيُّ؟ قال: الجهاد في سبيل الله. فسكت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو استزدته لزادني. (متفق عليه)

Aku bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-: Wahai Rosululloh, amal apa yang paling mulia? Beliau menjawab: sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian jihad di jalan Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.

Itulah hadits Abdulloh bin Mas’ud…

Wahai anakku…

Inilah aku, ibumu… pahalamu… tanpa engkau harus memerdekakan budak atau banyak-banyak berinfak dan bersedekah… aku inilah pahalamu…

Pernahkah engkau mendengar, seorang suami yang meninggalkan keluarga dan anak-anaknya, berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri entah berantah untuk mencari tambang emas, guna menghidupi keluarganya?! Dia salami satu persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya, dia mengatakan: Ayah kalian, wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri yang ayah sendiri tidak tahu, ayah akan mencari emas… Rumah kita yang reot ini, jagalah… Ibu kalian yang tua renta ini, jagalah…

Berangkatlah suami tersebut, suami yang berharap pergi jauh, untuk mendapatkan emas, guna membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana mengganti rumah reotnya.

Akan tetapi apa yang terjadi, setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, yang ia bawa hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia gagal dalam usahanya. Pulanglah ia kembali ke kampungnya. Dan sampailah ia ke tempat dusun yang selama ini ia tinggal.

Apa lagi yang terjadi di tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya, matanya terbelalak. Ia melihat, tidak lagi gubuk reot yang ditempati oleh anak-anak dan keluarganya. Akan tetapi dia melihat, sebuah perusahaan besar, tambang emas yang besar. Jadi ia mencari emas jauh di negeri orang, kiranya orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.

Itulah perumpaanmu dengan kebaikan, wahai anakku…

Engkau berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak… tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar… di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu masuk surga…

Ibumu adalah orang yang dapat menghalangimu untuk masuk surga, atau mempercepat amalmu masuk surga… Bukankah ridloku adalah keridloan Alloh?! Dan bukankan murkaku adalah kemurkaan Alloh?!

Anakku…

Aku takut, engkaulah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam– di dalam haditsnya:

رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة (رواه مسلم)

Celakalah seseorang, celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada yang bertanya: Siapakah dia wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah orang yang mendapati orang tuanya saat tua, salah satu darinya atau keduanya, akan tetapi tidak membuat dia masuk surga. (HR. Muslim 2551)

Celakalah seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya, hidup bersamanya, berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga.

Anakku…

Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit, aku tidak akan adukan duka ini kepada Alloh, karena jika seandainya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan, yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya…

Aku tidak akan melakukannya wahai anakku… tidak… bagaimana aku akan melakukannya, sedangkan engkau adalah jantung hatiku… bagaimana ibu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit, sedangkan engkau adalah pelipur lara hatiku… bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku…

Bangunlah nak… bangunlah… bangkitlah nak… bangkitlah… uban-uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa, sehingga engkau akan menjadi tua pula.

الجزاء من جنس العمل

Sebagaimana engkau akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat kepadamu.

الجزاء من جنس العمل

Ganjaran itu sesuai dengan amal yang engkau telah tanamkan. Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam.

Aku tidak ingin engkau menulis surat ini… aku tidak ingin engkau menulis surat yang sama, dengan air matamu kepada anak-anakmu, sebagaimana aku telah menulisnya kepadamu.

Wahai anakmu…

bertakwalah kepada Alloh… takutlah engkau kepada Alloh… berbaktilah kepada ibumu… peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya… basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya… kencangkan tulang ringkihnya… dan kokohkan badannya yang telah lapuk…

Anakku…

setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu. Apakah engkau sadar dan engkau akan kembali, atau engkau akan merobeknya.

Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Dari Ibumu yang merana.

Kepada yg tercinta, bundaku yg kusayang

 

Segala puji bagi Allah… yg telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga.

Shalawat serta salam hamba -yg lemah ini- panjatkan keharibaan Nabi yg mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…

Ibu…

Aku terima suratmu yg engkau tulis dg tetesan air mata dan duka… aku telah membaca semuanya… tidak ada satu huruf pun yg aku sisakan.

Tapi tahukah engkau, wahai Ibu… bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’… Semenjak sholat isya’… aku duduk di pintu kamar, aku buka surat yg engkau tuliskan untukku… dan aku baru selesaikan membacanya setelah ayam berkokok… setelah fajar terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan…

Sebenarnya, surat yg engkau tulis tersebut, jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah… Jika engkau letakkan di atas daun yg hijau, tentu dia akan kering…

Sebenarnya, surat yg engkau tulis tersebut tidak akan tertelan oleh ayam… Sebenarnya, wahai ibu, suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan, yg jika dipecutkan ke pohon yg besar, dia akan rebah dan terbakar…

Suratmu wahai ibu, bagaikan awan Kaum Tsamud, yg datang berarak dan telah siap dimuntahkan kepadaku…

Ibu…

Aku telah baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!! Bagaimana tidak… Jika surat itu ditulis oleh seorang yg bukan ibu dan bukan ditujukan pula kepadaku, layaklah orang yg paling bebal, untuk menangis sejadi-jadinya… Bagaimana kiranya, jika yg menulis itu adalah ibuku sendiri… dan surat itu ditujukan untukku sendiri…

Sungguh aku sering membaca kisah sedih, tidak terasa bantal yg dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata… Bagaimana pula dg surat yg ibu tulis itu!? bukan cerita yg ibu karang, atau sebuah drama yg ibu perankan, akan tetapi dia adalah kenyataan hidup yg ibu rasakan.

Ibuku yg kusayangi…

Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua yg engkau telah sebutkan benar adanya…

Aku masih ingat ketika engkau ditinggalkan ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang belanja, jadilah engkau mencari apa yg dapat dimasak di sekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan.

Dg jalan berat engkau melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau membisikkan kepada penjual bahwa apa yg engkau ambil tersebut adalah hutang… hutang… yg engkau sendiri tidak tahu, kapan engkau akan dapat melunasinya…

Ibu…

Aku masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yg telah lama engkau jemur dan keringkan…

Tidak jarang pula engkau simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dg segera.

Aku masih ingat… engkau sengaja ambilkan air didih dari nasi yg sedang dimasak, ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.

Ibu…

maafkanlah anakmu ini… aku tahu bahwa semenjak engkau gadis, sebagaimana yg diceritakan oleh nenek sampai engkau telah tua seperti sekarang ini, engkau belum pernah mengecap kebahagiaan.

Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dg anak-anakmu… Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia, kecuali ketika kami anak-anakmu datang ziarah kepadamu. Selain dari itu, tidak ada kebahagiaan… Semua hidupmu adalah perjuangan. Semua hari-harimu adalah pengorbanan

Ibu…

Maafkan anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri, wanita yg telah engkau puji sifat dan akhlaknya… yg engkau telah sanjung pula suku dan negerinya! Semenjak itu pula aku seakan-akan lupa deganmu…

Wahai ibu…

Keberadaan dia sebagai istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku… senyuman dan sapaannya telah melupakanku dg himbauanmu.

Ibu… aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena kewajibannya untuk menunaikan tanggung-jawabnya sebagai istri… Aku berharap pada permasalahan ini, engkau tidak membawa-bawa namanya, dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya… Karena selama ini, di mataku dia adalah istri yg baik, istri yg telah berupaya berbuat banyak untuk suami dan anak-anaknya… Istri yg selalu menyuruh untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua.

Ibu…

Ketika seorang laki-laki menikah dg seorang wanita, maka seolah-olah dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka atau orang-orangan. Maafkan aku ibu…

Aku tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada padaku, anakmu ini… Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yg aku alami, perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah, tidak satu atap lagi…

Ibu…

Perkawinanku membuatku masuk ke alam dunia baru… dunia yg selama ini tidak pernah aku kenal… dunia yg hanya ada aku, istri dan anak-anakku… Bagaimana tidak, istri yg baik, anak-anak yg lucu-lucu! Maafkan aku Ibu… Maafkan aku anakmu… aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dg keadaan orang yg penting bagiku… yg penting bagiku adalah keadaan mereka: anak-anak dan istriku…

Ibu…

Maafkan aku, anakmu… Ampunkan aku, anakmu… Aku telah lalai… aku telah alpa… aku telah lupa… aku telah menyia-nyiakanmu…

Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan untuk cinta kepada anaknya, akan tetapi anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya… Oleh sebab itu, dilarang mencintai anak secara berlebihan, sebagaimana anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya… Itulah yg terjadi pada diriku, wahai Ibu!!

Aku pasti akan gila ketika melihat anakku sakit… Aku seperti orang kebingungan ketika melihat anakku diare… Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi padamu wahai ibu… Itu sulit aku rasakan, jika seandainya hal itu terjadi pada ibu, dan pada ayah…

Ibu…

Sulit aku merasakan perasaanmu…

Kalaulah bukan karena bimbingan agama yg telah engkau talqinkan kepadaku, tentu aku telah seperti kebanyakan anak-anak yg durhaka kepada orang tuanya!!

Kalaulah bukan karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayahmu, niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.

Setelah suratmu datang, baru aku mengerti… Karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahan berat, yg engkau hadapi selama ini.

Sekarang baru aku mengerti, wahai ibu… bahwa hari yg sulit bagi seorang ibu, adalah hari di mana anak laki-lakinya telah menikah dg seorang wanita… wanita yg telah mendapat keberuntungan…

Bagaimana tidak… Dia dapatkan seorang laki-laki yg telah matang pribadinya dan matang ekonominya, dari seorang ibu yg telah letih membesarkannya… Dari hidup ibu itulah ia dapatkan kematangan jiwa, dan dari uang ibu itu pulalah ia dapatkan kematangan ekonomi… Sekarang, -dg ikhlas- ia berikan kepada seorang wanita yg tidak ada hubungan denganya, kecuali hubungan dua wanita yg saling berebut perhatian seorang laik-laki… Dia sebagai anak dari ibunya dan dia sebagai suami dari istrinya.

Ibuku sayang…

Maafkan aku… Ampunkan diriku… Satu tetesan air matamu adalah lautan api neraka bagiku… Janganlah engkau menangis lagi, janganlah engkau berduka lagi!… Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka!! Aku takut Ibu…

Kalau itu pula yg akan kuperoleh… kalau neraka pula yg akan aku dapatkan… ijinkan aku membuang semua kebahagiaanku selama ini, hanya demi untuk dapat menyeka air matamu…

Kalau engkau masih akan murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa segala yg aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau… terserah engkau, mau engkau buat apa…

Sungguh ibu, dari hati aku katakan, aku tidak mau masuk neraka, sekalipun aku memiliki kekuasaan Firaun… kekayaan Karun… dan keahlian Haman… Niscaya aku tidak akan tukar dg kesengsaraan di akhirat sekalipun sesaat… Siapa pula yg tahan dg azab neraka, wahai Bunda… maafkan aku anakmu, wahai ibu!!

Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan kepada Allah ta’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke langit… bahwa engkau belum mau berdoa kepada Alloh akan kedurhakaanku… Maka, ampun, wahai Ibu!!

Kalaulah itu yg terjadi… dan do’a itu tersampaikan ke langit! Salah pula ucapan lisanmu!! Apalah jadinya nanti diriku… Apalah jadinya nanti diriku… Tentu aku akan menjadi tunggul yg tumbang disambar petir… apalah gunanya kemegahan, sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yg tidak berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula…

Kalaulah do’amu terucap atasku, wahai bunda… maka, tidak ada lagi gunanya hidup… tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan…

Ibu dalam sepanjang sejarah anak manusia yg kubaca, tidak ada yg bahagia setelah kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan bagaimana nasibnya di akherat, tentu ia lebih sengsara…

Ibu…

Setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku.

Ibu… Suratmu akan kujadikan “jimat” dalam hidupku… setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu akan aku baca ulang kembali… tiap kali aku lengah darimu akan kutalqinkan diriku dengannya… Akan kusimpan dalam lubuk hatiku, sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku… Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku, bahwa ayah mereka dahulu pernah lalai di dalam berbakti, lalu ia sadar dan kembali kepada kebenaran… ayah mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yg seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.

Bunda…

Tua… engkau berbicara tentang tua, wahai bunda…?! siapa yg tidak mengalami ketuaan, wahai ibu!!

Burung elang yg terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yg tinggi… suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar, dan diperebutkan oleh burung-burung kecil.

Singa, si raja hutan yg selalu memangsa, jika telah tiba tua, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan… Tidak ada kekuasaan yg kekal, tidak ada kekayaan yg abadi, yg tersisa hanya amal baik atau amal buruk yg akan dipertanggungjawabkan.

Ibu…

Do’akan anakmu ini, agar menjadi anak yg berbakti kepadamu, di masa banyak anak yg durhaka kepada orang tuanya… Angkatlah ke langit munajatmu untukku, agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akherat.

Ibu…

sesampainya suratku ini, insya Allah tidak akan ada lagi air mata yg jatuh karena ulah anakmu… setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku denganmu…

bahagiamu adalah bahagiaku… kesedihanmu adalah kesedihanku… senyumanmu adalah senyumanku… tangismu adalah tangisku…

Aku berjanji, untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya, dan aku berharap agar aku dapat membahagiakanmu selagi mataku masih bisa berkedip… maka bahagiakanlah dirimu… buanglah segala kesedihan, cobalah tersenyum… Ini kami… aku, istri, dan anak-anak sedang bersiap-siap untuk bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.

Salam hangat dari anakmu yg durhaka…

(Disadur dari kajian Ustadz Armen –rohimahulloh-)

http://addariny.wordpress.com/2010/04/12/ibuku-sayang/

Dahulu kala tinggallah seorang nenek di tepi hutan. Sang nenek tinggal serumah dengan anak, menantu, dan seorang cucunya.

Semasa mudanya ketika suaminya telah meninggal dunia sang neneklah yang menghidupi keluarganya. Ia bekerja keras membanting tulang demi kelangsungan hidup ia dan puteranya.

Ketika menjelang usia senja, si nenek mulai sakit-sakitan. Anak dan sang menantu sudah tak tahan mengurusi si nenek. Terbersitlah rencana jahat anak dan sang menantu berencana untuk menyingkirkannya.

Paginya Dua orang durhaka ini berencana membawa sang nenek di tengah hutan. Dengan alasan jalan-jalan mencari udara segar, anak dan si menantu mengajak sang nenek pergi ke tengah hutan. Mereka pergi sambil membawa sebuah kurungan. Kebetulan tanpa di sengaja saat itu cucunya melihat, karena curiga dengan kurungan tersebut akhirnya si cucu membuntuti mereka dari belakang.

Di tengah hutan sang cucu melihat kedua orang tuanya memasukkan si nenek ke dalam kurungan dan meninggalkannya pergi begitu saja. Setelah kedua orang tuanya tak terlihat, barulah dengan sedih ia membebaskan sang nenek dan menempatkannya di suatu tempat yang lebih aman. Kemudian sang cucu pulang sambil membawa kurungan tersebut.

Setelah kembali ke rumah dan bertemu kedua orang tuanya, ia berkata, “Ayah Ibu saya menemukan kurungan ini di tengah hutan”

Mendengar kata-kata tersebut kedua orang tuanya saling berpandangan, mereka mengira sang nenek telah mati dimakan binatang buas, maka dengan begitu rencana untuk menyingkirkan sang nenek telah berhasil.

Kemudian ayahnya bertanya, “Lalu untuk apa kurungan seperti itu kamu bawa pulang, anakku?”

si anak menjawab, “Akan aku simpan ayah, kelak jika ayah dan ibu telah setua nenek dan sakit-sakitan, kurungan ini akan kupakai untuk ayah dan ibu sama seperti sekarang ayah memperlakukan nenek” Mendengar itu kedua orang tuanya terkejut dan malu. Akhirnya mereka menangis dan tersadar

oOo

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS : Luqman : 14)

oOo
Jika Kita ingin anak- anak kita berbakti ( birrul walidain) . Jadilah Kita anak yang berbakti kepada orang tua kita.

Jangan berharap anak-anak kita kelak mau melakukan hal yang baik kepada kita, jika kita sendiri tak memperlakukan orang tua sendiri dengan baik pula.

Semoga Tuhan membalas perlakuan kita tersebut dengan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Aamiin.