Archive for May, 2012


Semua keadaan, bisa menjadi TORIQOH (jalan) menuju Allah!

oleh Wahidiyah

“Tidak dikuatirkan padamu bingung jalan. Tetapi yang dikuatirkan atasmu adalah menangnya hawa nafsu atas akal dan imanmu.” (Al Hikam: 117)

Bagi semua orang, tidak dikhawatirkan bingung tentang keadaan dirinya; apakah ia melakukan taat, atau terjerumus berbuat maksiat. Karena yang jelas, perbuatan-perbuatan itu, sebenarnya bisa dijadikan jalan untuk menuju mewusulkan seseorang kepada Allah, atau bisa menjadi jalan, atautoriqoh kepada Allah.

Amal itu sendiri memiliki dua nilai. Pertama; Nilainya sebagai amal. Tentu setelah terpenuhinya syarat-syaratnya amal itu sendiri. Kedua; Berfungsi sebagai toriqoh.

Suatu perbuatan dinilai amal, kalau dalam pelaksanaanya sudah memenuhi syarat-syarat, seperti niat, rukunya sudah tepat, yang membatalkan sudah ditinggalkan, dan sebagainya. Jika hal ini sudah ditepati, amal itu diterima. Sebaliknya, kalau amal itu untuk dijadikan sebagai toriqoh ilallah, ya syaratnya lain lagi, tentu sebagaimana yang berlaku di toriqoh. Nah, kalau bisa, kita melakukan amal ibadah bisa bernilai kedua-duanya; sebagai amal ibadah  dan sebagai toriqoh. Karena ada amal yang tidak memenuhi syarat-syarat amal, tapi ia bisa tusilu ilallah (menjadi toriqoh untuk wushul kepada Allah). Ada juga amal yang diterima, tetapi tidak bisa tusilu ilallah.

Ketika kita menghadapi suatu keadaan, di sini digambarkan, ada taat, ada maksiat, juga ada bala’. Taat, maksiat dan bala’ ini, kita tidak dikhawatirkan ketidakmampuan kita untuk memanfaatkanya menjadi toriqoh atau amal ibadah tusilu ilallah.

Meskipun didalam Al Qur’an sendiri dan juga hadits, telah jelas diterangkan, bahwa apabila kita mau mempelajari dan memahami benar-benar, disana ada tuntunan-tuntunan yang menuntun kita agar dapat memanfaatkan semua keadaan atau amal ibadah menjadi toriqoh yang tusilu ilallah. Pertanyaanya sekarang, bagaimana menggunakan taat, menjadi amal ibadah, menjadi toriqoh yangtusilu ilallah. Yaitu:

Yakni, kita memandang bahwa semua amal ibadah kita ini adalah anugerah dari Allah, bukan sebab daya upaya kita, dan bukan karena usaha kita. Karena itu jangan diaku ketika kita bisa taat, bahwa itu hasil ikhtiar kita, tetapi sadarilah bahwa ini adalah anugerah dari Allah. Walaupun umpamanya, kita sudah lillah, tetapi ketika kita melakukan amal ibadah belum melihat bahwa sesungguhnya bisa beramal itu sendiri merupakan anugerah Allah, berarti kita masih mahjub, terhijab, amal itu masih diaku. Nah, supaya amal itu tidak diaku, kita harus menyadari minnatun minallah (anugerah dari Allah). Dalam istilah Wahidiyah billah, bukan ikhtiar kita. Kalau taat kita sudah kita bilah-kan, hati kita senantiasa ingat kepada Allah, ya otomatis amal atau taat itu menjadi toriqoh kepada Allah.

Dibidang maksiat; bagaimana agar maksiat kita ini bisa dijadikan toriqoh kepada Allah? Yaitu, ketika kita maksiat, kita harus istighfar, merasa hina, merasa dosa dihadapan Allah SWT. Kemudian kita tobat yang sungguh-sungguh kepada Allah, maka maksiat itu akan menjadi toriqoh kepada Allah. Karena itu ada dawuh:

”Maksiat yang didalamnya menimbulkan rasa dosa, nelongso dan menangis meminta ampunan kepada Allah, berdepe-depe tobat dan kembali kepada Allah, itu lebih bagus daripada taat yang tidak ada rasa demikian itu, bahkan menumbuhkan rasa takabur. Karena itulah, maksiat bisa dijadikan toriqoh kepada Allah.

Begitu juga nikmat. Bagaimana nikmat itu agar bisa dijadikan toriqoh kepada Allah. Yaitu kita senantiasa bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah. Baik Syukur bil qalbi, syukur bil lisan, maupun syukur dengan cara menggunakan nikmat itu untuk beramal, sesuai dengan kehendak yang memberi nikmat.

Syukur bil qalbi, kita merasa, menyadari bahwa semua nikmat itu dari Allah SWT. Sadar bahwa nikmat itu adalah anugerah Allah. Juga sebagai ungkapan syukur kita, secara lisan kita berterima kasih kepada Allah dengan memanjatkan puji; Alhamdulillah. Bahkan, kalau perlu disampaikan kepada orang lain: Alhamdulillah saya baru saja mendapat nikmat dari Allah” maksud membicarakan nikmat tentu bukan niat riya’, tapi niat syukur dan menunjukkan nikmat Allah kepada orang lain. Kalau bisa demikian, maka syukur nikmat tadi, bisa menjadi toriqoh kepada Allah.

Begitupun ketika kita mendapat bala’. Ia bisa dijadikan toriqoh kepada Allah. Yaitu ketika kita menerimanya dengan hati ridha, dan sadar bahwa ini adalah qodho-qodar-nya Allah. Kita memandang, ini semua dari Allah semata. Disebabkan banyak dosa-dosa kita.

”Telah tampak berbagai kerusakan di darat dan dilautan. Bencana alam, banjir, angin topan, gunung meletus, kecelakaan, dan sebagainya. Semua ini adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, kata Allah. Hingga dunia menjadi rusak, dan semua barokahnya hilang. Mulai barokah harta-benda, barokah rumah-tangga, semuanya hilang. Semuanya kacau balau. Akibat kerusakan itu kemudian ditimpakan oleh Allah kepada manusia, agar mereka mau sadar dan kembali kepada Allah SWT.” (QS. Ar Rum: 41).

Demikian inilah beliau tuntunan K. Mushonnif kepada kita, kepada Pengamal Wahidiyah khususnya yang telah lama didik Mbah Yahi, untuk menyikapi keadaan maksiat, taat, nikmat dan bala’. Untuk dijadikan toriqoh kepada Allah.

Jadi pada intinya; bukan maksiat menjadi ibadah, tidak. Tapi, bagaimana maksiat itu bisa dijadikan toriqoh ubudiyah yang tusilu ilallah.

Bagi Pengamal Wahidiyah yang telah dididik Mbah Yahi, ketika menghadapi maksiat, taat, nikmat dan bala’. Atau ketika ia dikuasai nafsu, sangat dikhawatirkan ia tidak bisa memanfaatkan keadaan-keadaan tersebut jadi toriqoh ilallah. Yang lebih menghawatirkan lagi apabila taatnya menjadi maksiat, bala’ menjadi maksiat, karena dirinya dikuasai oleh hawa nafsu.

Padahal Mbah Yahi telah mendidik agar kita tidak perlu khawatir lagi menyikapi nikmat taat, maksiat, bala’ ini. Sebab jika kita benar-benar tidak dikuasai hawa nafsu, maka semua keadaan itu bisa untuk dijadikan  toriqoh ilallah. Insya Allah Pengamal Wahidiyah yang telah dididik Mbah Yahi sudah mampu demikian dengan idzin-Nya.

Namun walau ilmiahnya mudah, dipandang mampu, tapi kalau hatinya dikuasai nafsu, sangat dikhawatirkan taatnya menjadi maksiat, apalagi maksiatnya. Nikmatnya jadi maksiat, jadi siksa dan juga bala’nya senantiasa menjerumuskan.

Apabila kondisi seseorang dikuasai nafsu, maka orang ini jelas sudah buta mata hatinya. Ia sudah tidak bisa membedakan mana yang untuk mendekatkan diri kepada Allah, mana yang bukan. Dengan amal taatnya, ia taajjub, bangga dan merasa bahwa “aku bisa beramal”. Bisa beramalnya bukan karena anugerah dari Allah, sebaliknya, ia bangga, taajjub bit-toatihi. Dia tidak lagi memandang bahwa bisa beramal itu adalah minnatun minallah.

Wa tasiru fil maksiat…., dan ketika ia terjerumus kedalam keadaan yang demikian, ia malah terus enak-enakan tanpa menyadari bahwa dirinya dalam kondisi maksiat. Ia tidak segera keluar dari keadaan itu dan cepat-cepat tobat.

Wa tastaqilla…, dan ketika ia mendapat nikmat, ia juga menganggap bahwa nikmat yang diberikan kepadanya itu cuman sedikit. Akhirnya ia tidak mau bersyukur kepada Allah, bahkan terus-menerus ngersulo, mengeluh.

Wa jazaa fil baliyat…, ia juga hanya merasa susah, ketika keadaanya sedang dicoba. Sebaliknya ia tidak segera tobat.

Karena itulah sangat dikhawatirkan, bahwa Pengamal Wahidiyah yang sedang dikuasai nafsu, ketika menyikapi taat, maksiat, nikmat dan baliyat (bala’) akan terjerumus seperti yang disebutkan diatas tadi.

Karena itu, kita dalam kehidupan ini, mari kita koreksi. Apakah keadaan kita lebih banyak taatnya, atau lebih banyak maksiatnya.

Kita juga harus menyadari, bahwa kita ini tidak bisa lepas dari nikmat Allah. Akan tetapi, didalam nikmat itu sesungguhnya ada bala’ atau musibah. Yang dimaksud musibah disini adalah ketika nikmat itu sesungguhnya kita aku sendiri, bukan dari Allah. Dan kita menyalahgunakan nikmat itu bukan untuk toriqoh inallah. Inilah yang dimaksud musibah.

Karena itulah, kita dididik oleh Mbah Yahi, bagaimana agar kita tidak bingung, jangan sampai jumbuh istilah disini, bingung, tidak mampu menggunakan melaksanakan taat untuk toriqoh ilallah. Karena itulah, apabila kita mendapat nikmat, bisa taat, maka janganlah diaku, tapi harus billah, bahwa ini semata-mata adalah anugerah Allah SWT. Kita juga harus terus bersyukur, terus berdepe-depe dan tobat memohon ampun kepada-Nya. Begitu juga, apabila kita ‘diberi’ maksiat, jangan susah. Karena itu qadha-qodhar-Nya Allah. Tetapi susahlah pada perbuatanya, nangis, tobat kepada Allah SWT. Dan apabila mendapat nikmat ya disyukuri:

”Dan sekiranya kamu menghitung-hitung nikmat yang telah diberikan Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34).

Nikmatnya Allah itu tidak bisa dihitung. Karenanya, Allah hanya meminta kita untuk mensyukurinya. Dan apabila kita mendapat baliyat atau cobaan, kita harus sadar bahwa ini adalah peringatan dari Allah. Iya kalau cobaan itu yang ngelaraake teng nafsu (menyusahkan/ menyakitkan pada nafsu). Tapi, kalau cobaan itu jutru yang mengenakkan nafsu kita, kita terlena nanti. Di coba sakit, dicoba jatuh usaha kita, ini biasanya kita tahu. Tapi, kalau kita dicoba kaya, ampuh, kita ndak tahu… Hingga cobaan itu membuat kita bingung, tidak bisa menggunakannya untuk tusilu ilallah SWT. Hati-hati… dan harus lebih hati-hati lagi, ketika hawa nafsu itu menguasai kita, hingga kita berani mengaku bisa beramal ibadah.

Bahkan, jika hati kita sudah tertutup oleh nafsu, maka kita akan enak-enakkan didalam maksiat, sehingga nikmat yang banyak yang kita terima dari Allah SWT, tidak bisa kita rasakan. Begitu juga baliyat (bala’) yang sebenarnya sifatnya peringatan dari Allah, justru dianggapnya sebagai siksa.

Juga ada dawuh, laa yukhafu alaika… (sudah tidak dikhawatirkan lagi…). Maksud dawuh ini adalah ‘tidak dikhawatirkan bingung’ membedakan antara mana perbuatan maksiat dan mana perbuatan taat. Juga tidak dikhawatirkan bingung memilih, mana ketaatan yang harus lebih diutamakan, mana yang tidak.

Tapi bahasanya di sini, adalah ‘dikhawatirkan bingung’ memilih, antara meksiat dan perbuatan taat untuk digunakan toriqoh kepada Allah.

Sekarang bagi Pengamal Wahidiyah, sudah tidak dikhawatirkan lagi bingung memilih mana yang lebih penting dan manfaat, mana yang tidak. Karena pengamal sudah dewasa, sudah bisa taqdimul aham fal aham tsumal anfa’ fal anfa’. Tidak dikhawatirkan bingung memilih diantara amal-amal yang tusilu ilallah. Seperti shalat, syiam (puasa), zakat, dzikir dan sebagainya. Sudah tidak dikhawatirkan bingung memilih mana yang lebih utama, yang lebih aham, dan yang labih anfa’. Karena kita sudah diberi taqdimul aham fal aham tsumal anfa’ fal anfa’.

Tetapi, apabila kita dikuasai hawa nafsu, pasti kita menjadi bingung untuk memilih; mana yang lebih utama, mana yang tidak. Sehingga dalam melakukan amal perbuatan tidak istiqomah. Terkadang mengerjakan yang ini, terkadang yang itu. Terus…. Begitu. Kadang-kadang, mempeng, giat. Kadang tidak sama sekali. Ia bingung karepe dewe (bingung sendiri/ tanpa sebab). Oleh karena hatinya terombang-ambing nafsunya. Mengamalkan amalan yang ini, ia tidak merasakan ada atsar di hatinya. Semakin ia mempeng (sungguh-sungguh), justru semakin gelap hatinya dari Allah. Bahkan saking bingungnya, kembali ia ganti amalan lagi, kemudian ganti lagi, dan seterusnya. Tetapi yang ia dapat bukan rasa nikmat dalam hati, namun hanyalah rasa kesel nggak ada hasilnya… Sebab apa? Sebab ia tidak memilih mana yang lebih aula, lebi anfa’ dan lebih aman.

Orang yang demikian ini, biasanya adalah orang-orang yang tidak dalam bimbingan Asy Syaikhul Kamil Mukamil. Kerena tidak mendapat bimbingan Syaikh Kamil Mukamil, maka hatinya dikusai nafsu. Akibatnya, ia bingung memilih; mana yang aula atau aham, mana yang tidak.

Oleh karena dirinya dikuasai nafsu, maka hatinya tercegah, tertutup untuk melihat jalan yang terbaik yang mestinya ia gunakan untuk toriqoh ilallah SWT. Maka saat ia mencari amalan, hanyalah amalan yang sifatnya agar bisa mendekatkan diri kepada Allah. Itu saja. Tetapi ia sendiri tidak mampu membedakan mana amalan yang sungguh-sungguh efektif, atsar-nya banyak, dan mampu tusilu ilallah. Pokoknya, amalan yang bisa mendekat kepada Allah, ya diamalkan.

Karena ia mendapatkan amalanya hanya asal-asalan, kemudian ‘pokoknya mengamalkan’, tidak ada bimbingan guru Kamil Mukamil, hatinya dikuasai nasu pisan, hal ini membuat hatinya semakin gelap, hingga ia tidak bisa melihat mana yang aham, mana yang anfa’. Akhirnya, perjalanan ruhaninya menuju Allah, kembali dari awal, dari bawah lagi.

Namun demikian. Walaupun ia tidak mampu memilih mana yang aham dan mana yang anfa’, oleh karena ia terus mengamalkan amalan yang didapatnya itu, akhirnya Allah pun menolong, hatta yajmuka… Sehingga kamu dipertemukan dengan guru Kamil Mukamil yang memberikan bimbingan dan menunjukkan kamu untuk menuju Allah SWT. Dan akhirnya kamu di dalam bimbingan seorang guru Syaikh Kamil Mukamil itu.

Bagi kita Pengamal Wahidiyah, ini sangat penting sekali. Jangan sampai kita terpeleset. Kita menjadi pengamal sudah lama sekali. Apalagi kita sudah pengamal sejak kecil hingga besar seperti sekarang ini. Jangan sampai, kalau diajak ngomong ajaran kayak-kayak alim, kayak menguasai ilmu toriqoh, ilmu lillah dan billah. Tapi, setelah itu selesai. Cuma ngomong-omong saja, namun hatinya tidak dredeg, tidak bergetar sama sekali seperti omonganya. Sebaliknya, kalau diomongi, ganti nyembur, ganti ngomongi. Namun hatinya jauh dari apa yang dibicarakan. Hingga ketika ia menghadapi empat masalah seperti dalam bahasan diatas, ia bingung; mana yang diamalkan. Justru ia terus gonta-ganti amalan; ngamalkan ini, kemudian ganti ngamalkan itu, terus ganti lagi ngamalkan yang ini. Karena hati kita telah dikuasai nafsu.

Bahkan mungkin juga, hanya doa saja yang ia amalkan; pengen surga, pengen jauh dari neraka, pengen ini dan itu, sehingga tujuan yang utama yaitu wushul kepada Allah kalah di tengah jalan, kalah dengan kebutuhan ekonominya. Begitulah kalau hati kita telah dikuasai nafsu. Hati kita terombang-ambing, hingga kita selalu gonta-ganti amalan. Suatu saat mengamalkan ini, suatu saat tidak. Hingga jadinya tidak istiqomah.

Begitu juga, meski yang diamalkan jelas-jelas amalan Wahidiyah, namun karena ia tidak pernah datang di jama’ah, tidak pernah Usbu’iyah, tidak pernah datang di Rubu’usanah, hingga tidak ada penjelasan-penjelasan yang membawa dia untuk tusilu ilallah, sama dengan tidak dibimbing oleh Syaik Kamil Mukamil, maka ia pun tetap akan merasakan kebingungan. Akhirnya ia hanya bisa ngamuk, menuruti nafsunya sendiri. Pokoknya dia mengamalkan… Hati-hati, jangan-jangan yang dikhawatirkan olehmushannif (penyusun Kitab Al Hikam), atau Mualif Shalawat Wahidiyah ini terjadi pada pengamal Wahidiyah yang lama.. mari kita koreksi diri kita sendiri.. Allahu a’lam Al Fatihah…

 

Pengajian Al Hikam Oleh: Hadrotul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid, RA.

DUNIA

oleh Wahidiyah

Dunia itu keruh maka kita jangan janggal  atau ganjil terhadap kekeruhan tersebut selagi kita masih berada dalam dunia yang fana’ ini. Jadi selamanya kita masih berada didunia, kekeruhan-kekeruhan sedikit banyak moral maupun materiil, langsung atau tidak langsung pasti akan ditemui. Sebab memang kekeruhan itu adalah pembawaan dari dunia. Hidup didunia ya kekeruhan itu, bila tidak mau mengalami kekeruhan, itu tidak mungkin terjadi.

 

Beliau Sayyidina Ja’far Shodiq beliau juga dhurriyah sayyidina Ali KW mengatakan:

”Barangsiapa mencari barang yang tidak diciptakan, tidak dibuat oleh Allah SWT, itu hanya menyusahkan membuat dirinya capek dan tidak akan berhasil”.

 

Syekh Ja’far Shodiq ditanya:

”Apakah itu barang yang tidak dicipta oleh Allah SWT?”. Jawabnya: ”Ar-Rohah fiddunnya”. Ingin enak dan kepenak didunia.

 

Jadi orang hidup di dunia, hanya ingin enak kepenak saja itu tidak mungkin, mustahil. Dan usaha barang yang mustahil, hanya membuang-buang waktu dan tenaga dengan percuma, tidak ada gunanya sama sekali. Kalau begitu, seharusnya, kita tidak boleh hanya memperhatikan ingin enak dan kepenak saja di dunia, tapi harus terus berjalan. Jalan terus melalui kekeruhan-kekeruhan hidup, melalui lika-liku suka dan duka melalui…. Bermacam-macam rintangan dan kesulitan.

 

Jalan terus maju Fafirruu Ilallah wa Rasulihi SAW. Kalau kita sudah dapat sowan kehadirat Allah SWT wa Rasulihi SAW, atau sudah berada di hadratullah, disana akan lenyap kebutekan-kebutekan, akan menjadi hilang kekeruhan-kekeruhan, berganti dengan suasana cemerlang dengan memperoleh sinar cahaya ”Matahari ma’rifat kesadaran”. Adanya kita senantiasa dalam suasana Syuhud, sowan dihadapan Allah SWT yang mempunyai sifat Maha Luhur, Maha Ghoffar, Maha Pengampun dosa-dosa dll. Apabila kita sudah senantiasa berada dihadapan Allah SWT, maka hilanglah segala kekeruhan dan kesulitan-kesulitan dalam hidup di dunia ini, mengapa tidak?. Karena orang yang senantiasa berada dihadapan Allah SWT akan senantiasa, merasa puas, ridho kepada Allah SWT. Dia sebagai hamba dan Allah Tuhanya. Segala, sesuatu yang dibuat oleh Tuhanya terhadap Hamba-Nya, jika dia seorang hamba yang sungguh-sungguh, otomatis senantiasa puas, gembira, diperbuat apa saja. Bahkan dirugikan sekalipun, justru yang memperbuat itu Tuhanya yang Rouf Rohim, dia senantiasa ridha dan puas.

 

Tapi kalau orang yang belum bisa sowan dihadapan Allah SWT, sekalipun disisinya serba ada, serba otomatis serba lux, serba berlimpah, serba….. serba…  yang lain, tapi justru makin banyak serba-serba itu tadi justru makin banyak mendatangkan kekeruhan-kekeruhan, kenapa demikian?. Karena orang mungkin banyak bertanya, makin banyak dunianya, makin pusinglah dia memikirkan akan hartanya agar supaya terus-menerus bertambah lagi. Agar hartanya aman dan selamat dari gangguan-gangguan, agar usahanya makin lancar. Dia memikirkan bagaimana agar pegawai dan para pembantu-pembantunya tidak menyalah gunakan tidak menyeleweng. Disamping itu semua otomatis senantiasa menginginkan keadaan yang lebih tinggi lagi. Ngongso-ngongso (jawa).  Ingin memiliki apa-apa yang lebih atas dari apa yang sudah dimiliki sekarang, itu pasti. Meributkan pikiranya pokoknya makin banyak dunianya, makin repot lahiriyahnya, maupun batiniyahnya, banyak lamunan-lamunanya yang justru membikin makin repot makin keruhnya diri sendiri.

 

Jadi orang yang sudah sadar otomatis  segala kekeruhan-kekeruhan itu hilang dengan seidzin Allah SWT. Otomatis kalau diberi oleh Allah SWT dia merasa puas sekali. Bukan karena memperoleh  peparing pemberian Allah itu, tetapi dia puas karena diberi oleh Tuhanya yang senantiasa dirindukanya. Tuhanya yang senantiasa kasih sayang kepada hamba-Nya. Kalau dia melakukan sesuatu perbuatan atau mengalami keadaan-keadaan yang tidak diinginkan, kalau dia dicoba menghadapi  keadaan-keadaan yang tidak diinginkan. Dia tetap gembira, sebab yang mencoba yang menguji adalah Tuhanya. Tuhanya yang selalu dia cintai. Otomatis senantiasa ayem tentrem. Tidak ada sama sekali yang di takuti dan yang dikhawatirkan. Sebab dia selalu menyadari dan gembira bahwa semuanya di tangan Tuhan.

 

”Barangsiapa, yang mau masuk ke maqam Ibrahim, yang sesungguhnya bukan maqam yang ada didekat ka’bah itu, tetapi yang sesungguhnya adalah dihadirat Ilahi Rabbi.”

 

Tempat yang didekat Ka’bah itu adalah suatu gambaran atau suatu tanda. Tapi maqam yang sesungguhnya adalah maqam kekasih Tuhan “Kaana aaminan”, dia pasti aman.

Pasti aman mengapa?, karena dia dikasih sayang oleh Allah SWT. Dengan segala sesuatu dari Allah SWT, baik itu aman atau tidak adalah ditangan Allah SWT.

 

Juga pada akhir-akhir ini, soal ekonomi banyak diributkan, secara lahiriyah maupun batiniyah, ya inilah dunia. Kalau kita tidak ingin kalang kabut, kita harus cepat-cepat Fafirruu Ilallah wa Rasulihi SAW, sowan dihadapan Allah SWT, sekalipun orang lain memandang lahiriyah kita jungkir balik, saking repotnya tapi kalau mau sowan senantiasa kehadirat Allah SWT. Pasti kita akan ayem tentrem aman dunia dan akhirat.

 

Orang didunia yang masih senantiasa terpengaruh oleh keruhnya dunia lalu merasa sudah tidak mampu menahan deritanya, tapi kalau dia tidak capat-cepat mengungsi ditempat yang aman, yaitu”Hadratullah”. Apalagi kalau sudah didatangi Malaikat Izra’il jauh lebih keruh. Oleh karena itu kita harus cepat-cepat sowan dihadapan Allah SWT, kita mengikuti masuk kedalam ”Maqam Nabi Ibrahim” yaitu maqam kekasih Allah SWT.

 

Seseorang tidak akan mengalami jalan buntu, tidak akan mengalami hambatan lebih-lebih kegagalan seseorang yang memperjuangkan apa yang dia perjuangkan. Selama dia di dalam memperjuangkan atau mengusahakan senantiasa Fafirruu Ilallah wa Rasulihi SAW. Senantiasa berdepe-depe memohon kepada Allah SWT.

 

Begitu sebaliknya, tidak akan lancar senantiasa menemui jalan buntu atau kegagalan apabila didalam usaha atau berjuang apa yang diperjuangkan itu hanya mengandalkan kemampuan dan kekuatanya sendiri tanpa menyerahkan dan memohon pertolongan kepada Tuhanya.

 

Orang yang  memperjuangkan apa saja yang diperjuangkan, selama dia senantiasa “tawakkal”senantiasa menyerah bongkoan kepada Allah SWT pasti akan lancar usahanya dan tidak akan mengalami jalan buntu. Sekalipun misalnya, dalam segi lahiriyah kelihatan dia buntu tidak berhasil, tapi justru itu yang paling menguntungkan dia. ‘indallah dan fii yaumil qiyamah terutama. Tapi sebaliknya, berjuang atau usaha apa saja lalu hanya mengandalkan, membanggakan kemampuanya, tidak akan menemui jalan lancar, senantiasa buntu, kandas ditengah jalan. Sekalipu n pada lahiriyahnya kelihatan lancar dan berhasil, apa yang ia usahakan dan perjuangkan, sukses, tapi justru sukses dan lancarnya ini menjerumuskan membahayakan dirinya. Terutama diyaumil qiyamah nanti.

 

Dengan keterangan tersebut sudah jelas, kita tinggal pilih satu diantara dua, yang menguntungkan atau merugikan. Kita diberi kemampuan tinggal pilih yang mana, memilih ini buahnya begini, memilih itu buahnya begitu. Hal tersebut kita sudah tahu, maka terserah masing-masing. Tapi kita sebagai manusia yang berakal, tentunya memilih yang menguntungkan dan menyelamatkan serta membahagiakan dunia akhirat. Andaikan kita tidak mau memilih, hal tersebut tidak akan terjadi dari kedua soal tersebut. Sebab kalau tidak ditempat yang selamat dan bahagia pasti ditempat yang satunya yaitu celaka dan sengsara dunia akhiratnya. Kita tidak bisa menyelamatkan diri kedua-duanya. Kita harus menempuh satu diantara dua soal tersebut. Hal tersebut barang yang sudah pasti, kita tidak akan bisa menolak, harus melaksanakan. Oleh karena itu, harus kita pilih yang paling menguntungkan pada diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat pada umumnya serta yang paling bermanfaat dan diridhai Allah SWT wa Rasulihi SAW.

 

Barangsiapa mendasarkan bermacam-macam hajatnya (Billah) kepada Allah SWT dan senantiasa berdepe-depe mengharap Rahmat karunianya dan dengan tawakkal menyerah bongko’an kepada Allah segala persoalannya, pasti Allah mendatangkan ketenangan dan ketentraman, mendekatkan apa-apa yang jauh dan memudahkan apa-apa yang sukar.

 

Jadi siapa saja yang berjuang atau usaha, baik perjuangan secara, umum atau perseorangan dia disamping menggunakan kemampuan lahiriyahnya dia harus senantiasa menyerah bongko’an kepada Allah SWT. Senantiasa merintih, berdepe-depe kehadirat Allah SWT, otomatis pasti di jangkung oleh Allah. Sehingga didalam usaha atau berjuang tadi mengalami lancar dan gampang, sukses bermanfaat. Sekalipu n pada suatu ketika menemui macet atau buntu. Tapi justru ini yang paling bermanfaat bagi dia. Terutama besok diyaumil Qiyamah, begitu juga sebaliknya, orang yang mengandalkan kemampuanya, fikiranya, keahlianya, itu sama sekali kosong, vacum. Hubungan dia dengan Allah SWT yang sesungguhnya dia senantiasa membutuhkan sekali dari Allah SWT, tapi oleh dia di putusi sendiri. Otomatis mengalami buntu dan gagal total. Sekalipun pada suatu ketika atau senantiasa sukses dan lancar. Tapi suksesnya itu sesungguhnya mengakibatkan kerugian besar bagi dirinya sendiri, terutama pada yaumil qiyamah.

 

Ini semua kita tinggal pilih. Yang sehat dan normal tentunya kita memilih yang pertama tadi, jalan selamat membahagiakan dunia akhirat. Tapi kalau kita glonjom, kita sendiri yang akan mengalami kerugian dunia akhirat.

 

Bahkan keluarga  yang tidak tahu menahu persoalanya ikut merasakan pahit getirnya kekeruhan akibat perbuatan kita. Oleh karena itu sebagai koreksi, kita sudah tepat atau belum. Mana yang sudah tepat kita pelihara, dan usaha menyempurnakan dan meningkatkannya. Kita hidup didunia  hanya sekali ini dan hanya sekejab saja dibanding dengan hidup di akhirat kelak. Sebab kalau sudah terlanjur pindah ke alam akhirat, sudah didatangi Izra’il, tidak bisa lagi kembali kedunia. Kalau kita meleset ya akan meleset terus selama-lamanya. Kalau pada waktu itu kita jatuh terjerumus kemudian tahu-tahu Izra’il datang maka kita juga akan terjerumus selama-lamanya.

 

Oleh karena itu kita harus menaruh perhatian yang sungguh-sungguh. Malaikat Izra’il datangnya tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Segar-bugar tahu-tahu mati, banyak. Lebih-lebih ketika sakit. Masih kanak-kanak banyak juga yang mati, lebih-lebih yang sudah tua. Kalau kita terlanjur keluar dari dunia tidak akan bisa kembali lagi. Di jagad mana saja baik di barat maupun ditimur, di Rusia, Amerika atau dimana saja orang yang sudah mati tidak akan hidup kembali. Mulai Nabi Adam AS sampai besok Qiyamat tidak ada orang yang mati hidup kembali, kecuali ketika zaman Nabi Isa AS. Kemudian dia bertobat. Tapi inipun tidak lama. Tapi untung dia sudah keadaan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT. Tapi ya itu sejagad hanya satu itu yang bisa hidup sesudah mati lantaran dihidupkan Nabi Isa AS. Setelah dia mengalami yang mati pertama tadi, dia mengalami betapa beratnya disiksa di dalam kubur lalu dia beruntung sekali karena dihidupkan oleh Nabi Isa AS. Kemudian segala kemampuanya digunakan sungguh-sungguh untuk Fafirruu Ilallah. Jadi kalau kita tidak sungguh-sungguh karena ragu-ragu, sebab tidak konsekuen dengan keyakinanya. Percaya tapi tidak konsekuen itu berarti ragu? Orang sudah pindah ke alam akhirat tidak bisa kembali kedunia. Wallahu a’lam 

 bishowab.